Terbaru

[Spooktober] Cerpen Misteri Kak Bi: Teror Rumah Tua

[Spooktober] Cerpen Misteri Kak Bi: Teror Rumah Tua

Awal Oktober 2025, aku buka dengan cerpen misteri bernuansa gelap dan tentu saja agak horor untuk menyesuaikan tema bulan Oktober; Spesial Spooktober.

Tidak perlu intro yang lama, langsung saja masuk ke cerpen misteri Kak Bi: Teror Rumah Tua. Selamat membaca.


πŸ‘»πŸ‘»πŸ’€πŸ’€πŸ’€πŸ‘»πŸ‘»


[Cerpen Misteri Kak Bi] Aku berdiri di depan rumah tua, sebenarnya ada rumor soal teror rumah tua ini yang pernah menyelimuti masa kecilku. Tujuh tahun berlalu, aku kembali ke rumah ini bersama sepupuku, Abid, lelaki berambut mangkok yang akan menikah bulan depan.

Dalam rangka itulah, kami para sepupu berencana memakai rumah tua peninggalan nenek buyut. Rumah yang sering sekali kami datangi sewaktu kecil. Setelah nenek buyut wafat saat aku berusia 10 tahun, dan kakek meninggal tujuh tahun lalu, rumah ini pun dibiarkan kosong, sesekali hanya bibi; anak terakhir kakek yang sering datang ke sini untuk mengurus rumah.

Matahari terik menyelimuti desa dengan keheningan mencekam. Apalagi di sini banyak rumah kosong, karena banyak yang sudah pindah ke kota. Rumah nenek buyut ini sederhana, lantainya masih dari cor beton dan sebagian sudah keramik, hasil bantu membantu orang tua kami. 

Begitu sampai di dalam rumah, aku cukup kaget karena melihat rumah cukup rapi dan bersih, meski ada aroma aneh, tapi tidak mengganggu. Pintu rumah tidak dikunci, tapi bibi tidak ada di rumah. Kulihat Abid langsung tiduran di lantai, merasakan dinginnya lantai yang memberi kenyamanan di tengah cuaca panas.

“Aku baring di sini dulu ya, Wi, dingin nih,” ujar Abid sambil menempelkan telinganya ke lantai.

Aku pun segera memeriksa semua ruangan dan kamar, ternyata semua ruangan kosong, bibi benar-benar tidak ada di rumah. Ketika melihat lantai yang cukup bersih, aku ikut rebahan di bagian atas kepala Abid.

Kami berdua menikmati dingin dan sejuknya lantai yang sedikit mengurangi rasa gerah, sambil mengobrol masalah pernikahan Abid bulan depan. Abid bilang alasannya ingin tinggal di rumah ini, sebab calon istri ingin tinggal di rumah sendiri setelah menikah. Dia tak punya uang untuk beli rumah, ditambah ayahnya seolah yang punya kuasa atas aset-aset keluarga kami. Karena ayahnya merupakan anak lelaki tertua, sekaligus cucu tertua nenek buyutku.

Sebenarnya aku agak keberatan, ini rumah keluarga. Kalau ada satu orang yang seolah mendapatkan hak tinggal, rasanya tidak adil saja bagi para cucu dan cicit nenek buyutku.

Ah, tapi aku bisa apa? Menjadi anak perempuan di keluarga ini, hanya bisa menonton saja. Selagi Abid mengoceh, aku perlahan hampir terlelap, tetapi sesaat kemudian menyadari sesuatu yang aneh. 

"Abid, sejak kapan lampu di sini nyala?" Aku menatap ke plafon dan melihat bohlam yang menyala di siang bolong.

"Loh, bukan kamu yang nyalain tadi?" tanya Abid mendadak duduk.

"Wah, mulai nih. Kamu yakin mau tinggal di sini?" Aku menyeringai dengan nada menakut-nakuti.

"Apaan sih, Dewi. Nggak lucu." Abid berdiri menuju sofa tempat dia meletakkan tas.

Aku kembali menikmati lantai, sampai pada akhirnya telinga ini menangkap suara gemuruh samar, seperti raungan jauh yang muncul dari perut bumi, disertai getaran halus dan terasa sampai telapak kakiku.

“Tunggu … kamu dengar nggak sih?” Aku bertanya sedikit cemas.

"Apaan?" Suara Abid terdengar sibuk.

Aku langsung bangun dan memperhatikan suara gemuruh yang barusan kudengar.

"Kamu kenapa?" tanya Abid, sejenak berhenti dari aktivitasnya.

"Aku dengar sesuatu."

"Dengar apa?" Abid mendekat.

Aku langsung menatap lantai dan kembali menempelkan telinga ke lantai. Kulihat Abid bersujud dan ikut menempelkan telinganya.

“Apaan sih? Nggak ada apa-apa. Kamu pasti capek, telepon bibi aja sana!”

"Sst!" Aku menggeleng, perasaan ini jadi tidak tenang. “Bukan, ini tuh kayak suara gemuruh, terus ada orang-orang menjerit gitu …”

Abid tertawa kecil. “Mungkin tetangga lagi ribut atau ada yang nonton TV terlalu keras.”

"Suaranya dari lantai, Abid!" Aku segera bangkit karena tidak bisa mengabaikan firasat aneh yang muncul. Aku pun memeriksa sekitar rumah, ingin memastikan siapa tahu ada pintu lain di luar rumah yang mengarah ke bawah. Kutinggalkan Abid tetap di dalam, sambil tengkurap di lantai.


Baca juga: Cara Monetisasi Blog di Tahun 2025

Cerpen Kak Bi: Daftar Cerpen Nurwahidah Bi


Di luar, suasana benar-benar sepi. Tidak ada tanda-tanda pertengkaran atau suara televisi, setelah diperiksa sekeliling juga tidak ada pintu aneh. Begitu masuk lagi ke dalam, aku menjumpai Abid sudah duduk bersila dengan wajah bengong. Kupanggil namanya beberapa kali sambil mengomel, tapi Abid mendadak diam.

Sekali lagi, aku mendengar suara gemuruh dan riuh ramai dari arah lantai. Aku tanpa sadar menjatuhkan lutut ke lantai dan kembali menundukkan badan hingga telinga mencapai lantai. Gemuruh rendah, bercampur suara jeritan manusia terdengar jauh. Suaranya semakin lama semakin keras.

"Abid? Kamu kenapa?" tanyaku setelah memeriksa lantai. "Ayo, pulang iih!"

"Teror rumah tua ini kembali, Wi. Aku ingat suara itu. Waktu kita main sore itu, ini suara yang sama." Abid mendadak bicara ngawur. "Jangan biarkan suara-suara itu keluar, Wi." Lanjutnya berteriak.

"Hah?" Aku terkejut melihat perubahan sikap Abid. "Bentar, aku telepon bibi dulu." Aku segera menghubungi bibi, sembari memperhatikan raut wajah Abid yang semakin pucat. 

Untungnya setelah beberapa kali dihubungi, panggilan pun tersambung dan diangkat. "Bibi di mana? Aku sama Abid sudah sampai di rumah kakek nih. Bibi, Abid aneh. Bibi?" Namun, hening. Tak ada suara. "Bibi?"

Tiba-tiba panggilannya mati begitu saja, kuputuskan menelepon ibu dan memintanya untuk menghubungi bibi lagi. Akan tetapi, ibu malah memberitahuku kalau sebenarnya sudah seminggu bibi tidak bisa dihubungi. 

Tapi, terakhir kali mengobrol di telepon, bibi sudah mengizinkan aku dan Abid untuk datang sambil pamer kalau dibelikan ponsel oleh anaknya. Ibu memintaku untuk menunggu sampai bibi pulang dari kebun saja, mungkin dia menginap di gubuk kebun.


Tahu hal ini, tentu saja aku kesal. Sudah kuberi tahu juga tentang kondisi Abid, tapi ibu malah menyuruh untuk tenang dan menelepon ayahnya Abid saja. Saat sedang bicara dengan ayahnya Abid di telepon, Abid tiba-tiba tersungkur dan jatuh pingsan. Ditambah, aku baru tahu ternyata Abid pergi ke sini secara diam-diam, hanya ibuku dan ibunya yang tahu rencana ini, ayah Abid justru tidak tahu apa-apa.

Ketika tahu keberadaan kami, ayah Abid meminta kami berdua supaya lekas keluar dari dalam rumah. Bagaimana caranya? Abid terlalu berat untuk kuseret.

Ayah Abid bilang, dia akan menyusul kami dan memintaku untuk tidak melakukan apapun sampai dia benar-benar sampai di sini. Setelah setuju, menunggu adalah jalan keluar satu-satunya. Akan tetapi, aku jadi benar-benar panik, ditambah sepupuku pingsan, sementara suara gemuruh itu masih terdengar dari lantai. Bibi juga belum datang-datang. Aku mendadak sesak napak, sepertinya gangguan panik muncul. Bahkan bibirku berdarah karena sejak tadi kugigiti.

"Telepon bibi lagi!" ujarku menenangkan diri sambil kembali coba menghubungi bibi.


Deg.

Suara nada dering telepon mendadak muncul dari dalam rumah. Aku berdiri, memberanikan diri dan mengikuti asal suara ini. Kakiku mendadak lemas saat menyadari ada tumpukan sesuatu di atas ranjang kamar ketiga. Dengan hati-hati dan napas berantakan, aku membuka kain penutup tumpukan dan mendapati ada selimut yang tersusun acak membentuk gunungan aneh.

Semakin kulepaskan lembaran selimut, aku mulai mencium bau bangkai. Seketika panggilan telepon berhenti, aku pun langsung terhenti. Bau busuk ini semakin menembus hidung, sampai akhirnya aku tiba di dasar selimut yang kelihatan agak basah dan berminyak. Di sebelahnya ada ponsel yang layarnya mati.

Entah apa yang ada dalam kepala ini, kuketuk layar hape dan melihat layarnya tiba-tiba menyala. Baterainya sisa 21%, sepertinya ini hape baru karena benda kotak ini masih kelihatan mengkilap tanpa casing pelindung. Ada banyak panggilan tidak terjawab di layarnya.

Aku mendadak mual dan berlari menuju kamar mandi. Kumuntahkan semua isi perut saat mampir makan siang di warung makan tadi. Sambil gemetar, aku menelepon pacarku yang seorang petugas polisi, dia meyakinkan untuk tetap tenang dan akan menghubungi kantor polisi terdekat.


πŸ‘»πŸ‘»πŸ’€πŸ’€πŸ’€πŸ‘»πŸ‘»


Aku masih mengurung diri di kamar mandi. Aku benar-benar enggan keluar.

“Ini nggak mungkin … apa yang terjadi?” bisikku mulai menangis takut.

Perasaan takut semakin mencekam saat jeritan-jeritan terdengar semakin jelas, kadang disertai suara benda besar yang menghantam, seperti batu raksasa yang jatuh ke air.

Aku menutup telinga dan hidung, berharap suara itu berhenti, dan bau busuk yang baru tercium ini menghilang. Namun, sia-sia saja, semuanya semakin kuat, semakin nyata. 

"Dewi!" Tiba-tiba aku mendengar namaku dipanggil. Itu suara Abid, terdengar agak lemah. Aku tidak menyahut, aku benar-benar takut. 

“Dewi, kita harus pergi dari sini! Pulang, ayo!” seru Abid akhirnya menemukanku di kamar mandi. Abid langsung menarik tangan ini dan dengan pelan aku menunjuk kamar ketiga.

Abid langsung mengintip ke dalam dan ikut mual karena bau busuk yang tercium. Ditambah, kini suara jeritan dan gemuruh semakin menyiksa, datang dari lantai tempatku berdiri. Ini membuat kepala semakin berdenyut-denyut kesakitan.

Aku dan Abid segera berlari ke pintu depan. Anehnya, semakin kami berlari, pintu itu seolah mundur dan menjauh.

“Nggak! Aku nggak tahan lagi, tolong!" Aku berteriak sambil menutup mata. Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang Abid lakukan, pokoknya semua ini harus cepat berlalu.

Tiba-tiba saja suara aneh mendadak lenyap, aku hampir kehabisan napas karena berlari tidak jelas. Begitu mata dibuka, aku hanya melihat punggung Abid dengan napas yang sama memburu.

Kami berdua ternyata sudah ada di teras rumah. Aku segera berjalan ke halaman dan memperhatikan sekitar rumah yang hening. Abid berjalan di belakang.

“Apa yang barusan terjadi sih?” Abid bertanya dengan suara bergetar, lelaki yang sebentar lagi jadi kepala keluarga ini benar-benar tampak ketakutan. Aku hanya bisa menggeleng, masih mencoba memahami apa yang baru saja kami alami.


πŸ‘»πŸ‘»πŸ’€πŸ’€πŸ’€πŸ‘»πŸ‘»


Kami lama menunggu di halaman, sampai akhirnya ada mobil polisi yang mendatangi kami. Kuberi tahu soal tumpukan aneh di kamar dan setelah diperiksa, benar saja, di dalamnya ada jasad yang diduga sebagai bibiku.

Ada hal aneh lagi yang terjadi yaitu, saat polisi datang, rumah ini malah jadi kelihatan kotor dan berdebu. Aku dan Abid benar-benar ketakutan saat menyadari hal ini, kami berdua juga mendadak terlihat kumal dan lusuh. Kemudian, ayah Abid pun sampai dan mengajak kami pulang usai bertukar informasi dengan polisi. 

Sebelum meninggalkan halaman ini, aku kembali mendengar suara gemuruh samar dari dalam rumah. Kali ini, bukan hanya aku atau Abid yang mendengarnya—polisi pun tampak saling berpandangan, seolah memastikan suara itu bukan hanya ilusi.

Semua teror rumah tua yang terjadi, kami ceritakan ke polisi sebelum pergi dari sana, tanpa terasa hari sudah malam, kami pun melaju menuju kota.


Cerpen lainnya: Cerpen Thriller: Bertahan Hidup

Artikel terkait: Cerpen Misteri Komedi: Trick or Death


Dalam perjalanan pulang, Abid pun bercerita kalau tadi sepertinya dia kesurupan, karena ketika tersadar sudah menyadari bahwa rumah tua itu memang kosong dan agak kotor.

Aku hanya diam, benar-benar kena mental. Teror misterius? Penemuan jasad? Kegilaan macam apa semua ini? Abid yang mau nikah dan tinggal di sana, kenapa jadi aku yang sakit kepala?


πŸ‘»πŸ‘»πŸ’€πŸ’€πŸ’€πŸ‘»πŸ‘»


Keesokan harinya, aku dan Abid dimintai keterangan di kantor polisi. Bersamaan dengan itu aku diberitahu kalau bibi sudah meninggal lebih dari 3 hari lalu, polisi akan mengusut siapa yang menutupi jasadnya dengan selimut tebal.

Untung saja aku tidak menyentuh selimut terakhir. Polisi juga membahas penemuan catatan setengah luntur di saku baju bibi. Isinya hanya kalimat; kalau tinggal di sini, jangan biarkan suara-suara itu keluar.

Aku tertegun. Suara-suara apa? Suara aneh itu ya? Suara yang Abid bilang saat kesurupan kemarin merupakan teror rumah tua yang selalu muncul. Mengetahui hal ini, aku tahu kalau ceritanya belum selesai.

Selama penyelidikan, berbagai spekulasi bermunculan. Satu hal yang kutahu adalah rumah itu akan dihancurkan setelah semuanya selesai, karena tidak akan laku kalau dijual.

Sebenarnya ada pertanyaan yang masih tertinggal, kenapa ayah Abid meminta kami segera keluar dari rumah saat itu? Kenapa? Tapi, ah sudahlah. Aku anak perempuan di keluarga ini, bertanya berarti tak patuh.


TAMAT 

Gorontalo, 13 Desember 2024


πŸ‘»πŸ‘»πŸ’€πŸ’€πŸ’€πŸ‘»πŸ‘»


Ya, sekian cerpen misteri Kak Bi hari ini, semoga suka ya. Share dan komennya ya~~ terima kasih. Yes, meskipun bukan cerpen baru, tapi cerpen ini pengin banget aku perlihatkan ke kalian semua, Pengembara.

Komentar

Populer

Mengenal Suku dan Masyarakat Adat Gorontalo Lebih Dekat

Cerpen Horor Spesial Nadia Omara: Diamond Play Button

Review Drama Korea The Trauma Code: Heroes on Call (2025)

Short Story: The Guardian of the Sword of Light (English Version of Penjaga Pedang Cahaya)