[Spooktober] Halaman Belakang Rumah Bag. 2 | Cerpen Misteri
[Spooktober] Halaman Belakang Rumah Bag. 2 | Cerpen Misteri
Dunia cerpen misteri seperti masuk ke dalam labirin gelap dari alam bawah sadar. Dalam setiap kata dan kalimat, tersembunyi rasa ingin tahu. Cerpen misteri menghadirkan tokoh-tokoh misterius hingga peristiwa tak terduga.
Cerpen misteri kali ini masih bagian dari dari cerpen sebelumnya. Silakan klik bagian sebelumnya di sini: Halaman Belakang Rumah Bag. 1
👻👻💀💀💀👻👻
"Apa selama ini sosok itu sering datang ke desa ini?" Lestari melirik Bu Rum yang masih kelelahan usai mencari Tamara.
"Tiga tahun sekali, kami membiarkan satu anak tetap bermain di halaman belakang rumah. Jika tidak begitu anak-anak lainnya akan jatuh sakit."
"Jahat sekali!" cibir Lestari. "Kok selama ini saya nggak tahu ya, Bu Rum?"
"Ya, karena kamu sudah jadi orang kota dan hanya orang dewasa saja yang tahu. Diberitahukan pun saat anak-anak sudah beranjak dewasa. Itu sebabnya, ibu-ibu melarang anak mereka bermain di halaman entah depan rumah atau belakang rumah. Takut, kalau ada warga yang sengaja menjadikan anak mereka target untuk diberikan kepada Ijal."
"Hah? Apa sosok Ijal itu pelakunya? Maksud saya ... setahu saya dia itu cuma dongeng sebelum tidur. Lalu, kalau dia nyata, bagaimana dengan Tamara?" Lestari menangis menatap adiknya yang masih diam dengan tatapan kosong.
"Warga desa sudah pergi memanggil Ki Lawu," ujar Bu Rum, yang duduk di seberang mereka. "Dia pernah menyelamatkan salah satu anak warga yang hampir dibawa Ijal tiga tahun lalu."
"Gila kalian!" Lestari meringis dan duduk di lantai sembari mengusap wajahnya sendiri.
Malam semakin larut, Tamara yang dibaringkan sedari tadi di kamar Lestari masih dengan kondisi mata terbuka dan keringat bercucuran padahal badannya dingin. Ki Lawu pun datang, usai dibaca-bacakan sesuatu Tamara justru mengerang kesakitan dan tak ada perubahan yang terjadi.
Lestari yang melihat itu malah marah dan segera menelepon ibunya. Usai berbicara di telepon, Lestari memutuskan untuk memanggil ustadz saja. Biar Ki Lawu yang mengurusi sosok Ijal, Tamara akan dibawa ke ustadz dari desa terdekat.
👻👻💀💀💀👻👻
Keesokan harinya, ibunya Lestari datang bersama kakak lelaki Lestari. Tamara pun dibawa dengan mobil Pak Kades menuju rumah ustadz dan berencana akan dibawa pulang ke rumahnya di kota. Lestari tidak ikut dan karena harus menjaga Nenek Ijah yang enggan ikut bersama anak dan cucu-cucunya itu.
Usai keramaian menghilang, Lestari duduk di sofa sambil menatap Nek Ijah yang kelihatan gelisah menatap pintu dapur. "Sebenarnya siapa sosok Ijal itu, Nek? Nenek kenal dia, nggak?" cecar Lestari mengingat usia Nek Ijah yang sebentar lagi menginjak 90 tahun.
"Hmm .... Anak itu dulunya disiksa oleh bapak-ibunya, setiap hari menangis dan mengerang kesakitan. Bersembunyi di halaman belakang rumah-rumah temannya. Tapi, nggak ada yang mau membantu." Suara Nek Ijah bergetar.
"Nenek pernah ketemu langsung dengan dia?" Lestari penasaran.
"Entahlah, nggak ingat. Karena saat Ijal ditemukan warga malam itu, aku masih berumur enam tahun. Saat dia datang menagih janji, barulah menyadari bahwa sosok yang meneror sore dan malam kami adalah Ijal," jelas Nek Ijah.
"Janji apa yang dia tagih pada warga desa?"
"Teman ...."
Lestari terdiam, bulu-bulu halus di tangannya mendadak berdiri pelan. Aroma aneh muncul, Lestari menciumi aroma itu dan hendak berdiri mencari sumber aroma darah bercampur kotoran ayam.
"Biarkan saja. Dia hanya mencari Tamara," sergah Nek Ijah.
"Ini aroma apa, Nek?"
"Aroma kebencian karena gagal bertemu teman. Warga desa saat itu yang berjanji akan memberikan teman, asal Ijal tidak mengganggu anak-anak desa." Nek Ijah masih menjelaskan. "Saat ditemukan sebelum malam-malam teror, Ijal berlumuran darah dan bersembunyi di kandang ayam belakang rumah."
Lestari lemas seketika, tak bisa membayangkan apa yang sebenarnya terjadi pada anak 10 tahun itu. "Apa ... Ki Lawu benar-benar bisa membuat Ijal pergi dari desa ini?"
Nek Ijah hanya menunduk, "Kamu sudah makan? Ibumu mana?"
"Wah, sudah mulai lagi ya?" Lestari berdiri mendekati Nek Ijah yang mendadak tidak nyambung dan merangkul dari belakang sembari melirik pintu dapur.
👻👻💀💀💀👻👻
Sore semakin menguning, Lestari duduk di teras sambil menunggu kedatangan Bu Rum yang ikut melihat ritual Ki Lawu di ujung desa. Dia juga baru saja mendapatkan telepon dari ibu bahwa Tamara sudah sadar dan sempat mimisan selama beberapa menit, tapi sekarang sudah baik-baik saja.
Tidak lama duduk di depan rumah, Bu Rum dan beberapa warga desa sudah pulang. Lestari segera pergi ke rumah Bu Rum setelah mengunci pintu rumah dan membiarkan Nek Ijah menonton di ruang TV.
"Bagaimana Bu Rum? Apa dia bisa dikalahkan oleh Ki Lawu? Apa perlu cari ustadz saja?" serang Lestari usai basa-basi singkat.
"Sudah selesai, tapi sepertinya sulit," jawab Bu Rum terlihat tidak tenang.
"Sulit kenapa?"
"Ki Lawu tidak bilang apa-apa, ini sama seperti tiga tahun lalu. Saya takut tiga tahun ke depan akan terjadi hal yang sama," ungkapnya menatap ke arah dapur.
"Apa sebaiknya semua rumah di desa ini membuka lahan hutan di belakang rumah, daripada membiarkan halaman belakang rumah bersentuhan langsung dengan hutan?" Saran Lestari terdengar masuk akal.
"Pak Kades sudah menyarankan itu, kalau jadi lahan dan peternakan akan jauh lebih aman karena hutan menjadi jauh dari halaman belakang dan jangkauan anak-anak," sambut Bu Rum.
"Yakin sosok itu tidak akan mengganggu lagi? Saya kasihan sama anak-anak di desa ini."
"Semoga saja." Bu Rum mengembus napas lelah. "Oh ya, sudah mau malam. Kamu harus kembali ke rumah. Selama tiga hari ke depan, ritual belum selesai. Ingat, jangan buka pintu dapur malam-malam dulu. Kamu bisa ajak saya untuk menemani kamu."
"Iya, Bu Rum. Makasih banyak." Lestari segera pamitan pulang.
Cerpen misteri lainnya: [SPOOKTOBER] CERPEN MISTERI: BERSEPEDA DI MALAM HARI
Artikel lainnya: [SPOOKTOBER] CERITA-CERITA URBAN LEGEND DI GORONTALO | BAGIAN 1
[Cerpen Misteri] Lestari tiba-tiba terbangun dengan rasa yang tak bisa ditahan, ruangan khusus yang biasa dipakai untuk buang air kecil ternyata kehabisan air di ember besarnya. Lestari bimbang, harus keluar tapi dia takut. Diintipnya kamar Nek Ijah, neneknya sedang tertidur pulas. Bagaimana Lestari tega membangunkan nenek jam tiga pagi begini? Lestari pun menarik napas dan memperkuat hatinya.
Dengan cepat membuka pintu dapur dan berjalan seorang diri ke arah sumur. Sebisa mungkin Lestari menghindari memandang ke arah hutan di belakang sana. Dia menimba air ke dalam ember dengan cepat. Tiba-tiba, pepohonan bergetar. Bahkan pohon nangka tua di samping sumur bergerak seolah ada angin ribut. Lestari mempercepat tangannya, walau ember entah kenapa terasa semakin berat.
Seketika, suara jatuh menghantam tanah terdengar menakutkan. Persis seperti suara kelapa yang jatuh ke tanah. Lestari berjalan cepat kembali ke dapur. Tapi, dapurnya malh terasa semakin jauh.
"Lestari!!!" Suara yang memanggil namanya membuat Lestari terhenti, dia merasa pusing dan mual dengan napas tersengal. Badannya merinding, tapi keringat dingin bercucuran.
"Aku akan kembali menagih janji warga desa. Tahun ketiga, pada purnama di malam jumat."
Mendengar itu, Lestari mendadak lemas. Seketika tersungkur ke tanah tepat di depan pintu dapur.
👻👻💀💀💀👻👻
Lestari terbangun sudah berada di dalam kamarnya, dan mendapati hari sudah pagi. Pakaiannya pun sudah diganti. "Apa aku ngompol semalam?" Lestari teringat hasrat buang air yang teramat dalam semalam.
"Kamu pingsan di dekat sumur." Bu Rum mengintip dari pintu dan berjalan masuk ke kamar. "Untung saja saya dan suami yang mau pinjam kamar mandi kalian tadi subuh, lihat kamu di situ."
"Seingat saya, saya mau buang air kecil." Lestari melirik daster yang kini dipakainya. "Saya sudah ganti baju?"
"Iya, kamu bau pesing." Nenek Ijah yang ternyata sedari tadi duduk di tepi ranjang tertawa kecil. "Sudah tua ngompol!" tambahnya.
"Untung aja cuma ngompol, kalau aku dibawa Ijal gimana?" Lestari panik dan takut.
"Heh, dia cuma mencari teman yang belum baliqh. Kamu kan sudah calon ibu-ibu." Bu Rum tertawa. "Oh ya, mulai hari ini Pak Kades bakal buka lahan di belakang rumah warga. Karena kemarin Tamara jadi korban, rumah kalian juga bakal dibuka lahan belakangnya."
"Dijadikan kebun kopi!" tambah Nek Ijah sembari menyeruput kopi buatan Bu Rum yang dipegangnya di gelas plastik. Lestari pun merasa tenang usai mendengar itu.
👻👻💀💀💀👻👻
[Cerpen Misteri] Tiga tahun berlalu, para warga desa bersiap dengan teror Ijal. Bulan purnama tepat di malam jumat menjadi jadwal kedatangannya di tahun ketiga ini. Mereka membuat pagar-pagar tinggi di sekitar kebun kopi dan memastikan penerangan di halaman belakang rumah masing-masing.
Nenek Ijah yang baru meninggal beberapa bulan lalu, membuat Lestari meninggalkan desa itu. Rumah Nenek Ijah pun disewakan kepada sepasang suami istri beranak satu. Suami istri itu masih jadi keluarga jauh Bu Rum, mereka datang untuk berkebun jahe dan membuka kandang bebek. Suami istri ini tahu betul keadaan rumah dan keadaan desa. Cerita soal Ijal yang mencari teman setiap tiga tahun sekali pada malam jumat yang bertepatan dengan purnama, juga sudah mereka hapal betul.
Beruntungnya, kebun kopi di belakang sana menjadi pembatas halaman belakang rumah dengan hutan pegunungan. Sehingga tak terlalu mengkhawatirkan lagi.
Layla, penghuni baru di rumah ini sangat suka berkebun, meskipun sedang hamil. Mendadak rumah tua Nenek Ijah disulapnya menjadi taman bunga. Termasuk halaman belakang rumah di sekitar sumur. Layla juga berperangai lembut, berbeda jauh dengan ibu-ibu di desa yang suka meneriaki anak-anaknya. Layla ibu yang baik, suaminya pun bapak yang baik.
Cerpen misteri lainnya: [SPOOKTOBER] CERPEN MISTERI KAK BI: TEROR RUMAH TUA
Mungkin Anda sukai: [SPOOKTOBER] CERITA-CERITA URBAN LEGEND DI GORONTALO | BAGIAN 1
Suatu sore, saat guratan senja menari-nari di angkasa. Putri kecil Layla menatap pohon nangka tua dengan serius. Pohon yang hampir ditebang suaminya karena dirasa mengganggu pemandangan. Tapi, karena Layla suka dengan suasana pohon nangka yang hampir mengering itu, pohon pun tak jadi ditebang.
"Aku kembali," ucapnya berkali-kali dengan nada berbisik.
"Kakak, kamu ngapain di situ? Jangan main-main dekat sumur." Layla mendekati putrinya dan terdiam saat melihat anak lima tahun itu menoleh dengan senyuman tajam sambil menatap perut Layla yang sedang hamil muda.
"Teman!" ucap putri kecilnya menunjuk perut Layla. "Aku bakal punya ibu?" Putrinya tersenyum kaku dan bergerak mendekati Layla.
"Kamu kenapa, Kakak?"
"Jadikan aku anakmu!" bisik putrinya memeluk paha Layla dengan erat. Layla tertawa mendengar celetukan aneh putrinya, walau sedikit merinding.
TAMAT
Gorontalo, 2 Mei 2024

Komentar
Posting Komentar