Terbaru

Cerpen Drama Keluarga: Akibat Parenting yang Salah

Cerpen Drama Keluarga: Akibat Parenting yang Salah


[Cerpen Drama Keluarga]—Sebuah rumah di perkampungan belakang kota punya gembok berdebu yang mengunci pintu sebuah ruangan. 

Dulunya, ruangan itu adalah tempat penuh canda tawa, tapi sekarang hening dan membeku bersama waktu.

Keluarga Pak Rahman dulu pernah menghiasi rumah itu dengan kebahagiaan, termasuk dengan ruangan terkunci yang akan mengalirkan air mata kala dibuka. Mereka pada akhirnya harus menghadapi pahitnya masa depan akibat parenting yang salah pada anak-anak.

***


Tahun penuh beban, 2015

Bagaimana bisa salah jika pada dasarnya parenting adalah proses pengasuhan dan pendidikan orang tua terhadap anak-anak mereka? Peran parenting ini sangat penting dalam membentuk karakter, perilaku, dan perkembangan anak-anak. 

Namun, bila parenting dilakukan dengan cara yang salah, bisa saja mengakibatkan dampak negatif pada hubungan keluarga dan perkembangan anak itu sendiri.


Dalam keluarga Pak Rahman dan Ibu Wita, keduanya memiliki pandangan yang berbeda tentang parenting. Pak Rahman cenderung otoriter, kurang memberikan pujian, membatasi gerakan dan kebebasan anak-anaknya. Padahal saat anak-anaknya berusia di bawah 7 tahun, dia adalah sosok ayah idaman yang meskipun sibuk tetap menyempatkan waktu untuk menemani anak-anak.

Lain halnya dengan Ibu Wita, dia terlalu memanjakan anak-anak mereka dan kurang memberikan batasan yang jelas atas apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan atas dasar; sayang anak. 


Anak pertama; Budi, tumbuh menjadi orang pendiam dan selalu merasa takut jika membuat kesalahan. Dia lebih suka memendam apa yang ada di dalam benak karena dituntut berbagai hal sebagai anak pertama dan anak lelaki.

Anak kedua; Lina, tumbuh menjadi remaja yang sangat manja dan sulit menerima kritik. Karena beberapa kali keinginannya tidak dikabulkan oleh Pak Rahma, dia pun menjadi pemaksa. Ibu Wita tidak sanggup menolak paksaan Lina.


Ketidakseimbangan di keluarga Pak Rahman mengakibatkan anak-anak merasa tidak aman dan kesulitan mengekspresikan diri dengan benar.

Budi sering kali merasa terkekang oleh aturan yang kaku, sementara Lina selalu mengharapkan pujian tanpa upaya. Perlahan-lahan keduanya tidak lagi mengerti konsep tanggung jawab dan akibat dari tindakan mereka sendiri.


Sampailah pada hari di mana Lina memaksa ibunya untuk membelikan sebuah tas branded, yang akan dijadikan hadiah untuk sahabatnya yang orang kaya. Alih-alih menolak, Ibu Wita malah mencari pinjaman di sana-sini untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan Lina.

Keluarga Pak Rahman akhirnya terlilit utang, ditambah Budi terlibat pinjol karena membeli berbagai macam kebutuhan game online yang digelutinya dari dalam kamar. 


Suatu hari, Ibu Wita menggadaikan tanah dan sawah warisan orang tuanya demi melunasi berbagai utang, Pak Rahman sendiri bekerja bagai kuda sambil memaki dan mencaci anak-anaknya yang dianggap tidak tahu diri.

"Seharusnya kamu jangan biasakan Lina untuk semua keinginannya itu dituruti." Pak Rahman dan Ibu Wita sedang bertengkar hebat di kamarnya. "Ini semua karena kamu nggak bisa didik anak!"


Sebab obrolan tentang utang piutang tidak berjalan lancar, mereka malah jadi berdebat dan saling menyalahkan.

"Kalau bukan aku yang sayang sama anak-anak, siapa lagi yang bisa sayang sama mereka? Kamu tahunya itu cuma memaki anak-anak, Budi nggak kamu izinkan merantau, Lina kamu sekolahkan ke sekolah bergengsi karena katamu biar dia bisa makin pintar, padahal Lina maunya sekolah negeri di ujung kampung saja."

"Sudah! Tidak akan ada habisnya kalau ngomongin ini, kamulah orang tua yang kasih sayangnya tumpah-tumpah, meskipun anakmu membunuh orang sekalipun tetap akan kamu bela."


Begitu seterusnya, setiap hari mereka bertengkar. Padahal, sewaktu kecil kamar tidur Pak Rahman dan Ibu Wita adalah tempat ternyaman bagi Budi dan Lina. Tapi, semenjak utang-piutang mengikat. Budi yang masih menganggur padahal sudah 5 tahun lulus SMA, ditambah Lina yang banyak maunya. Membuat rumah ini seperti sarang penyamun.


***


[Cerpen Drama Keluarga]—Pagi itu, Pak Rahman dikagetkan dengan tubuh kaku membiru yang ada di sampingnya. 

Pak Rahman hanya terdiam memandangi wajah itu. Pak Rahman lekas membawa Ibu Wita ke puskesmas, tapi istrinya tersebut sudah dinyatakan meninggal karena dugaan darah tinggi dan serangan jantung. Siapa yang menyangka perdebatan semalam akan jadi perdebatan terakhir.

Budi sempat menghardik dan menyalahkan Lina saat tahu ibunya meninggal. Lina memaki karena yakin bahwa ini semua ulah kakaknya yang membuat Ibu Wita bisa stres dan sakit. Pak Rahman sendiri kehilangan kata-kata, sejak pemakaman hingga 40 hari, dia sama sekali tidak bicara.


Dua bulan kemudian, Pak Rahman tiba-tiba malah menyewakan rumah mereka dan mengunci rapat-rapat kamar pribadinya. Pak Rahman sempat mengajak Budi untuk mencari pekerjaan di luar kota bersamanya. Tapi, Budi menolak dan memilih pergi dari rumah dengan menjual barang-barang pribadinya. Lina pun pergi.


Artikel lainnya:
Mungkin Anda sukai:


13 tahun berlalu, Lina kembali ke rumah ini karena masa sewa penghuni terakhir sudah selesai setahun lalu. Tapi, tidak ada lagi yang mau menempati rumah ini. 

Lina yang pulang ke kampung karena diceraikan oleh suaminya, akibat ketahuan mencari uang dengan cara yang tidak halal. Bahkan sang mantan suami meragukan status anaknya sendiri karena kegilaan Lina.


Semua jadi berantakan. Dulu, tepat dua bulan setelah kepergian Ibu Wita, Lina pergi untuk ikut dengan teman kayanya. Dia meminta bagian uang dari hasil sewa rumah dan pergi ke ibukota bersama temannya, tidak peduli meskipun Pak Rahman melarang.


Hari ini, tepat 13 tahun dia kembali pulang, dengan segala penyesalan yang tak pantas tumbuh. Lina menatap pintu kamar yang digembok itu. Lama sekali dia tidak pulang ke rumah ini, lama sekali dia tidak melihat Pak Rahman. Terakhir kali dia hanya bertemu Budi, sebab kata Budi pada Lina dia sudah lima tahun ini masih menghuni kamar belakang, tapi jarang ada di rumah. 

Rumah dengan lima kamar ini, pada akhirnya kosong. Tanpa perabot, bahkan sofa pun tidak ada.

Lina merogoh rentengan kunci yang diambil dari kakaknya dan membuka gembok.

Lina masuk dengan suasana hambar, dirinya bingung menggambarkan suasana kamar ini. Semuanya masih sama, bahkan aroma debu tidak bisa menutupi aroma kerinduan yang tiba-tiba membuncah.

Di tepi meja, ada sesuatu yang ditutupi kain hasil jahitan perca. Lina membukanya dan menemukan kotak pensil berisi banyak surat. 

Dibacanya surat-surat itu satu per satu. Ada surat yang mereka tulis saat masih anak-anak, ada pula surat terakhir dari Ibu Wita.

"Bu!" Suara dari arah luar membuyarkan Lina. "Paman Budi tidak ada ya?"

"Tidak ada. Coba kamu ke sini, ini kamar nenek dan kakekmu dulu."

"Kakekku? Aku nggak pernah lihat kakek. Kakek di mana? Kata ibu cuma nenek yang udah meninggal," ucap anak berusia delapan tahun memasuki ruangan ini dengan berhati-hati.

"Kamu duduk situ ya, ibu baca ini dulu," ujar Lina menarik kursi berdebu dan menunjuk tempat tidur agar putrinya duduk di situ dulu.


Kepada Budi dan Lina yang tercinta.

Hari ini, ibu duduk sendiri di kamar, merenung tentang masa lalu dan semua yang telah terjadi. Ada begitu banyak hal yang ingin dituliskan. Dulu, ketika kalian masih kecil, ibu berusaha melakukan yang terbaik sebagai seorang ibu. 

Akan tetapi, dalam prosesnya, ibu menyadari bahwa sudah membuat banyak kesalahan, terutama dalam hal parenting. Ibu terlalu memanjakan dan banyak menuntut kalian. Bapak kalian, sering menekan, memaksakan kehendaknya dan tidak lagi menunjukan kasih sayang seperti dulu.

Ibu berharap bisa kembali dan mengubah beberapa hal, memberikan kalian lebih banyak kebebasan dan mendengarkan kalian dengan cara yang benar. Mengajari dengan memberi contoh, tanpa harus menekan.

Saat ibu membayangkan kalian sudah dewasa dan mungkin ibu sudah pergi lebih dulu, rasa penyesalan itu semakin mendalam. Ibu tidak bisa memutar waktu kembali, tapi ibu ingin kalian tahu betapa ibu bangga dengan kalian hari ini. Kalian harus tumbuh menjadi individu yang tangguh dan penuh dengan kebaikan hati. Meskipun ibu tidak bisa lagi hadir secara fisik, ibu selalu ada dalam hati kalian.

Ingatlah bahwa mendidik anak itu adalah perjalanan yang penuh tantangan dan pelajaran. Kelak, saat kalian menjadi orang tua, jadilah orang tua yang berbeda dengan ibu dan bapak. Maaf, karena ibu bukanlah orang tua yang sempurna.

Belajarlah dari pengalaman kami. Jadilah, orang tua yang bijaksana dan peduli. Berikan cinta dan dukungan sewajarnya, juga berikan mereka kebebasan dan kesempatan untuk tumbuh dan belajar.

Ibu belikan es krim kesukaan kalian ya. Ada di kulkas, ambil sendiri seandainya ibu tidak bisa memberikannya langsung.


Ibu


***


"Ibu ...." Lina menangis, dadanya sesak oleh ribuan penyesalan yang meremukkan hati.

Kedewasaan membuatnya relate dengan keadaan sang ibu di hari itu. Surat itu mengingatkan Lina bahwa ibu mereka akan selalu menjadi sosok yang paling mencintai mereka tanpa syarat.

"Siapa?" Suara tua, tapi lantang menyusul sosok paruh baya yang berdiri di depan pintu.

Putri Lina berdiri dan berlari ke arah ibunya. Lina terdiam, melihat sosok yang jauh lebih tua dibandingkan 13 tahun lalu.

"Bapak?" panggil Lina.

"Wita?"

"Lina, Pak. Elina binti Rahman."

"Astaga!" Wajah Pak Rahman mendadak sayu dan mendung, curahan air mata tumpah bersamaan dengan bibir yang digigit kesal. Putrinya yang pergi dari rumah, kini berdiri di hadapan. Berwajah mirip dengan mendiang sang istri.

Pak Rahman lemas seketika, Lina bergerak menuju bapaknya, kemudian memeluk dengan membawakan sejuta kata maaf. Tangisan keduanya pecah, bahkan putri kecil Lina menangis melihat ibunya yang sedang bersimpuh di hadapan lelaki tua.


Di ruang keluarga, Budi melihat pemandangan mengiris pilu itu. Dirinya berbohong dengan bilang hanya tinggal sendiri di rumah. Itu dia lakukan agar Lina mau pulang seandainya adiknya itu malu untuk kembali ke rumah tua yang kini diapit dengan bangunan mewah.

Sebenarnya Budi sudah kembali ke rumah ini, sejak 10 tahun yang lalu dan Lima tahun lalu, dia menemukan Pak Rahman yang merantau ke Riau dan membawa kembali Pak Rahman pulang ke rumah ini.

Budi sudah bekerja di pabrik textil, kehidupannya membaik setelah membaca surat sang ibu di kamar itu tepat sebelum dirinya mencari Pak Rahman.


***


[Cerpen Drama Keluarga]—Budi dan Lina kemudian berusaha untuk memperbaiki cara mereka mendidik anak-anak. Dua bulan setelah Lina pulang, Budi akhirnya menikahi kekasih hati yang sudah dipacari selama empat tahun.

Mereka semua, sebagai generasi baru belajar untuk mendengarkan dan memahami kebutuhan serta perasaan anak-anak. Tidak ingin lagi terjadi hal-hal gila karena parenting yang salah.

Kelak, Budi belajar untuk memberi kesempatan kepada anak-anaknya untuk mengambil keputusan sendiri dengan tanggung jawab.

Sementara Lina, dia menjadi ibu yang dekat dengan sang putri. Bukan hanya ibu yang sekadar memanjakan anak, tapi tahu apa isi hati anak karena keduanya saling berbagi kisah. 

Lina tidak akan pernah menyangka, saat gembok berdebu di ruangan itu akhirnya terbuka, cahaya kebahagiaan kembali mengisi rumah tersebut. 

Pak Rahman senang, dan mulai berbicara lebih banyak bersama cucunya. Keluarga Pak Rahman akhirnya menyadari bahwa parenting bukanlah tentang memberikan aturan yang super ketat atau memanjakan tanpa batas, melainkan tentang pola asuh dalam memberikan cinta, panduan, dan batasan yang sehat agar anak-anak dapat tumbuh menjadi individu yang kuat dan bertanggung jawab.


***



Epilog

"Es krim siapa ini, Kak?" tanya Lina saat pulang dari pemakaman Ibu Wita. Dia mendadak haus dan memeriksa kulkas, lalu menemukan beberapa bungkus es krim.

"Memangnya kamu masih bisa makan es krim? Ibu baru saja dimakamkan, tapi kamu malah mau makan es krim? Nggak waras!" Budi kesal dan masuk ke kamarnya.

Lina diam, ditatapnya es krim itu dengan penuh keraguan. Dengan rasa bersalah, Lina membawa dua bungkus es krim ke kamar ibunya dan diam-diam memakan es krim di sana, sambil menangis karena mendadak kangen dengan Ibu Wita. 

Dirinya tidak bisa hidup bersama Pak Rahman, meskipun dimanja sejak kecil, tapi semenjak dia beranjak remaja Pak Rahman seolah menjadi orang asing. Lina tidak tahu harus hidup seperti apa nanti yang akan dilalui bersama bapaknya sendiri.


TAMAT

Gorontalo, 31 Agustus 2023

Komentar

Populer

Mengenal Suku dan Masyarakat Adat Gorontalo Lebih Dekat

Cerpen Horor Spesial Nadia Omara: Diamond Play Button

Review Drama Korea The Trauma Code: Heroes on Call (2025)

Short Story: The Guardian of the Sword of Light (English Version of Penjaga Pedang Cahaya)