Terbaru

Cerpen Drama-Misteri: Obrolan Terakhir

Cerpen Drama-Misteri: Obrolan Terakhir 

Cerpen kali ini lagi Cerpen Drama-Misteri. Cerpen Drama sendiri merupakan genre dari sastra pendek yang fokus pada konflik emosional. 

Dalam cerpen drama kali ini, aku coba menggugah perasaan Pengembara dengan narasi padat dan dialog yang menggambarkan dinamika dari hubungan ayah dan anak, dengan sentuhan misteri tipis.



***


Beberapa tahun lalu, tepat di tepi jalan sunyi pada malam yang gelap, seorang ayah dan putrinya berjalan pulang setelah menonton pementasan drama sekolah. Dengan hati riang, ayahnya memegangi sebuah piagam penghargaan yang dipeluk erat. Mereka berdua melintasi jalan yang dikelilingi oleh pepohonan besar dengan ditemani cahaya dan bayangan bulan yang baru muncul setelah hujan deras tadi.

Mira namanya, remaja cantik dengan make-up yang masih menempel di wajah. Mengenakan jaket merah cerah dan masih memegangi payung merah yang kontras dengan malam di sekitarnya. Ayahnya bernama Pak Budi, berjalan tepat di samping Mira dengan senyuman lembut di wajahnya.

"Tadi penampilan kamu dan teman-teman sangat bagus, Mira," kata Pak Budi, memecah keheningan malam.

Mira tersenyum lebar. "Terima kasih, Ayah. Mira senang karena ayah benar-benar datang untuk melihat pementasan drama kami."

"Ayah tidak sia-sia minta ijin tidak ikutan lembur, karena tim kamu menang lomba drama sekolah," ujar Pak Budi dengan nada yang berapi-api. Ah, dinginnya malam tidak menghilangkan kebahagiaan seorang ayah yang melihat prestasi sang putri.

Rumah mereka masih jauh, tapi mereka berhenti sejenak di bawah pohon besar yang menjulang tinggi di pinggiran jalan. Pak Budi menatap bulan yang bersinar terang di antara cabang-cabang pepohonan.

"Semoga ayah bisa secepatnya beli motor, biar bisa antar jemput kamu," ungkap Pak Budi mendadak sendu.

"Ayah," tanya Mira menatap ayahnya, "kenapa kita selalu berhenti di sini?"

"Oh, iya ya?" Pak Budi menatap Mira, menyadari bahwa dia tak pernah menjelaskan apa-apa soal kebiasaannya.

"Setiap kali lewat di tempat ini, ayah selalu mengajak Mira berhenti tepat di bawah pohon ini. Mira sampai sudah hapal keriput-keriput yang ada di pohon," ucap Mira tertawa kecil.

Pak Budi tersenyum dan menjelaskan, "Pohon ini adalah tempat favorit Ayah. Ini pohon yang sudah tua, sudah ada sejak ayah dan ibumu masih muda."

"Wah, lebih tua dari Mira ya?"

"Iya. Saat ibumu masih hidup dan kamu masih kecil, kami selalu berjalan di sini setelah makan malam. Kami sering duduk di bawah pohon ini dan berbicara tentang impian masa depan kami," jelas Pak Budi mengenang. Wajah lesu lelaki awalan 40 tahun itu mendadak terlihat fokus.

Mira mendengarkan dengan antusias. "Impian apa itu, Yah?"

"Ayah ingin melihatmu tumbuh jadi anak yang bahagia, melihatmu tersenyum dengan manis, seperti malam ini," jawab Pak Budi sambil memandang bulan yang bersinar cerah di langit. "Dan sekarang, setiap kali melewati pohon ini bersamamu, ayah akan selalu teringat pada harapan-harapan kami itu."

Mira ikut menatap bulan, lalu melirik ke arah pohon itu dengan penuh rasa hormat. "Aku juga punya impian, Yah. Aku ingin menjadi seorang artis terkenal, minimal menjadi pemain teater terkenal."

Pak Budi tersenyum bangga. "Ayah yakin kamu bisa mewujudkannya, Mira. Kamu anak yang cerdas dan berbakat."

Mereka pun melanjutkan perjalanan pulang di bawah cahaya bulan yang terang, dengan langkah-langkah seirama melintasi jalanan sepi. Mira merasa hangat di dalam jaket merahnya, dilipatnya payung merah sebab sudah tak ada gerimis lagi sedari tadi dan segera menggandeng lengan sang ayah.


Saat itulah, ada cahaya bulan lain mendadak menyusul dari belakang. Semakin lama cahaya yang dikira bulan itu terbelah jadi dua dengan sinaran yang menyorot tajam, dengan suara memekik di jalanan beraspal jelek membuat telinga berdengung.

Teriakan di udara pun melambung menuju langit, menjadi akhir dari obrolan ayah dan putri remajanya itu.


Beberapa tahun kemudian. Sampai hari ini, di hari-hari tertentu, Pak Budi masih sering berdiri di tempat yang sama. Di bawah pohon penuh kenangan untuk melihat jejak-jejak putri kesayangannya. 

Pak Budi berharap, suatu saat nanti, senyuman akan kembali merekah di bibir putrinya. Pak Budi sedih melihat Mira yang selalu kembali ke tempat itu dengan payung merah di tangannya, tepat setiap kali peringatan kematian Pak Budi.

Pak Budi hanya ingin pergi dengan tenang, agar semuanya bisa melanjutkan kehidupan masing-masing. Meskipun harus merelakan putri semata wayangnya yang kini telah hidup sebatang kara selama bertahun-tahun dan memupuskan impiannya dengan pekerjaan sekarang sebagai seorang kasir di sebuah minimarket.

Seandainya masih ada kesempatan, lewat dimensi yang berbeda sekalipun. Ingin sekali rasanya Pak Budi memberitahukan kepada Mira, bahwa berhentilah menunggu di tempat ini. Kejarlah mimpi, lakukan dan wujudkan obrolan terakhir mereka sebelum dirinya dijemput paksa secara brutal oleh sopir mobil pick-up yang mabuk di malam itu.

TAMAT 

Gorontalo, 13 Mei 2024

***

Waduh, ini cerpen misteri atau cerpen sedih huhu? Apa ada pengembara yang mengalami kejadian serupa dengan Mira? Coba komen di bawah....

Komentar

Populer

Mengenal Suku dan Masyarakat Adat Gorontalo Lebih Dekat

Cerpen Horor Spesial Nadia Omara: Diamond Play Button

Review Drama Korea The Trauma Code: Heroes on Call (2025)

Short Story: The Guardian of the Sword of Light (English Version of Penjaga Pedang Cahaya)