Terbaru

Cerpen Thriller: Sosok Bertudung

Cerpen Thriller: Sosok Bertudung

Pengembara lebih suka baca cerpen thriller atau cerpen misteri? Kalau suka thriller, yuk baca cerpen thriller: Sosok Bertudung yang satu ini.


***

[Cerpen Thriller]—Aku berdiri di bawah malam kelam, tak ada bulan maupun bintang yang menghiasi langit. 

Padahal tempat ini termasuk wilayah terpencil, bukankah seharusnya aku bisa melihat bintang? Kenapa hanya kegelapan pekat yang menyelimuti desa kecil ini? Apa polusi cahaya di perkotaan telah menjangkit pedesaan?

Ya, aku baru saja pulang dari pemakaman neneknya sahabatku, sebenarnya dia sempat melarangku untuk pulang karena sudah malam. Tapi, aku tak bisa membiarkan putriku sendirian di rumah. Sehingga aku pun diantarkan olehnya ke pangkalan angkot terdekat, karena katanya angkot paling lambat ada jam 9 malam.

Saat tengah berdiri di pangkalan angkot yang memang jauh dari desa sahabatku, aku melihat sesuatu yang aneh dari kejauhan. Sosok bayangan dengan obor di sekitarnya membuatku memicingkan mata. Ah, mungkin saja warga desa sekitar sini.

Sesaat, aku pun menyadari bahwa tempat ini berada di tengah hutan, selain jalan utama kecil yang sepi. Hanya ada jalan setapak yang jarang dilalui orang, di persimpangannya ada jalan ke kiri menuju desa dari nenek sahabatku, itu pun masih sangat jauh dari sini.

***


"Kenapa nggak ada angkot di pangkalan ini? Padahal masih jam tujuh malam lewat sedikit. Harusnya aku masih bisa pulang dengan naik angkot dari sini," gumamku sendirian untuk memecah hening.

Akan tetapi, ini aneh sekali, Sosok itu semakin mendekat, dan aku bisa melihat wajahnya dengan jelas di bawah tudung dari mantel besar dan tongkat serupa obor yang menyala di tangan kanannya. 

Siapa jaman sekarang yang membawa obor di jalanan seperti itu?

"Permisi," ucapnya dengan suara berat yang membuatku bergidik. Aku melangkah mundur, mencoba menjauh. "Angkotnya belum datang ya?" tanyanya. 

"I-iya," jawabku, berusaha terdengar tenang meski hati diliputi ketakutan. Aku menggeser langkah ke samping agak menjauhinya. Di mana angkot? Apa tidak akan ada angkot malam ini? Rasanya aneh semenjak sosok bertudung berdiri di sini.

Aku melirik dan berhasil melihat wajahnya yang disinari obor di tangan kanannya itu.

"Kenapa?" tanyanya tiba-tiba, sepertinya menyadari kalau aku tengah memandanginya. Segera kualihkan pandangan, dan berdehem sejenak. 

"Ya?" sahutku bertanya takut-takut. Dia diam sejenak, sambil terdengar suara embusan napas berat.

"Memangnya mau ke mana, Mbak?" tanyanya dengan suara berat.

"Mau pulang," jawabku sempat meragu.

"Dari mana, Mbak?"

"Dari rumah keluarga Utari," jawabku tersenyum canggung.

"Sendirian 'kan?" tanyanya dengan suara yang mendadak lembut.


Deg.

Aku mendadak merinding, pertanyaan itu membuat instingku menjerit. Sesegera mungkin mengambil ponsel dan mengirimkan pesan kepada Utari.


[Utari, aku masih di pangkalan nungguin angkot. Tapi, ada orang aneh bertudung yang bawa obor dan berdiri di sebelahku. Aku takut. Tolong jemput ya. Aku nggak jadi pulang.]

"Saya kenal Utari. Neneknya baru meninggal 'kan?" Dia membuka pembicaraan dan membuatku sempat menghentikan ketikan di layar ponsel. 

"Iya ...," jawabku segera menekan tombol kirim. 

Baca juga: The Guest

[Cerpen Thriller]—Biar tampak sibuk di ponsel, aku segera mengirimkan pesan pada ibu dan ayah, lalu meminta mereka untuk menjemput putriku yang sendirian di rumah. Karena pasti pengasuhnya sudah pulang.

"Neneknya Utari itu orang baik," lanjutnya tertawa kecil.

"Ya? Bapak tahu Utari ya?" Aku menggenggam ponsel erat-erat. Coba basa-basi biar tidak dianggap aneh.

"Tahu," jawabnya masih menatap jalanan. Suaranya benar-benar aneh, terasa mencurigakan.


Apa aku balik sekarang saja ke rumah nenek Utari? Tapi, itu jauh sekali.

Tiba-tiba dia menatapku, aku bisa merasakan itu. Sungguh. Perlahan aku melirik dan seketika pandangan kami bertemu. Wajahnya tidak begitu asing, tapi aku tak kenal. Seperti hanya manusia random yang mungkin pernah bertemu denganku di suatu tempat. Aku segera menundukkan kepala sambil kembali tersenyum canggung.

"Mbak bisa lari, nggak?" tanyanya tiba-tiba. Gila, pertanyaan macam apa itu?

"Ya?" Napas ini semakin berat saat mendengarnya, dia tiba-tiba terkekeh. 

"Saya ...." Ucapannya terhenti sejenak. Aku bisa melihat kakinya bergerak dan berputar ke arahku. 

Aku semakin sulit mengendalikan napas, kemudian dia mengatakan sesuatu yang membuatku terperangah.

"Mbak pilih lari? Atau bantu saya?" sambungnya menyodorkan obor ke wajahku. Hanya beberapa senti saja dari wajah, aku bisa merasakan panas dari benda menyala itu.

Aku mundur sembari memeluk tas dan menatapnya ketakutan.

"Bantu saya, atau kamu mati, Mbak?"

Mendengar itu aku segera melemparkan tas ke arahnya dan berlari menjauhi pangkalan angkot. Tujuanku hanya kembali ke rumah neneknya Utari.

Dengan napas tersengal-sengal, terus berlari di sepanjang jalan. Aku tidak punya pilihan lain, harus mencapai desa sebelum orang itu menangkapku. Ya, aku ingat dia. Dia bertemu denganku saat pemakaman neneknya Utari tadi siang.

Di mana aku ingat betul, orang-orang berbisik sembari menatapnya. Tapi, aku tidak kenal dia. Aku harus segera membawa kabar penting sekaligus menyelamatkan diri. Aku pernah lari maraton dan bisa terus berlari asalkan fokus. Aku pun berlari secepat mungkin dengan napas semakin berat dan jantung berdegup kencang. 

Di setiap langkah, aku merasakan ketakutan yang luar biasa. "Aku harus sampai ke sana," pikirku panik, sambil mengingat wajah putriku. Langkah malah semakin berat, tapi aku tidak bisa berhenti. Aku harus terus berlari. Adrenalin melonjak, mengingat sosok bertudung yang mungkin masih mengejar di belakang sana.


Masih dalam kondisi berlari, aku menengok ke belakang, suara dan ucapan-ucapan anehnya masih terdengar, serta terlihat sosok itu berjalan dengan obor di tangan. Aku terus berlari, persimpangan desa sedikit lagi.

Aku belok ke kiri dan masuk ke jalan menuju rumah nenek Utari. Akan tetapi, aku sempat terjatuh ke tanah dengan sangat keras. Kulirik di belakang tidak ada siapa-siapa, rasanya menakutkan. Aku mulai mengatur napas dan berdiri pelan sambil menitikkan air mata.

Kembali berlari pelan, karena lutut terluka. Saat itulah terdengar suara gemerisik dedaunan dan ranting yang patah di bagian kiri dan kanan yang isinya kebun kopi dan kebun jati. Aku menoleh sejenak, sembari terus berlari. 

Seketika melihat cahaya api dari obor yang menyala-nyala di dalam kebun kopi. Agak jauh dari sisi kiriku. Cahaya dari obor itu menari-nari di antara pepohonan dan semakin mendekat. Aku tahu bahwa tidak bisa berhenti dan harus terus berlari, berlari sampai mati jika perlu, untuk menyelamatkan orang-orang di rumah neneknya Utari.

Dengan sisa tenaga yang ada, aku mempercepat langkah, sambil merengek dan menahan sakit. Entah sudah berapa lama aku berlari, dari kejauhan aku menyadari telah sampai di pemukiman.

"Tolong!" teriakku sebisa mungkin. Sampai orang-orang di pos perbatasan desa atau pos kamling atau apalah itu melihat ke arahku.

Entah kenapa, aku bisa merasakan hawa panas di tengkuk, seolah-olah sosok bertudung itu sudah berada tepat di belakang. Seketika aku jatuh lemas dan tak mengingat apa-apa.


***

[Cerpen Thriller]—Aku merasakan sesak yang teramat sangat dan terbangun dengan posisi telentang. Aku mengatur napas dan mencoba tenang, lalu perlahan duduk sambil memerhatikan sekitar.

Kamar ini tidak asing, sepertinya ini kamar tempatku numpang istirahat tadi sore. Ya, benar, ini di rumah neneknya Utari. 

Betul saja, tak butuh waktu lama Utari masuk ke kamar dengan baskom di tangan. "Kamu udah bangun, Lin?" Utari meletakkan baskom ke meja dan hendak memelukku.

"Berapa lama aku pingsan?" sergahku memegangi tangan Utari.

"Aku nggak tahu, karena kamu baru beberapa menit yang lalu diantarkan bapak-bapak di poskamling. Ada apa sih, Lin?" Utari menatapku bingung.

"Kamu nggak baca pesan aku?"

"Maaf, hape aku lowbat. Aku nggak sempat charger tadi. Kenapa?"

"Aku ketemu orang aneh di pangkalan angkot dan dia bilang sesuatu yang bikin aku bingung ...."

"Apa itu? Kamu tenang dulu, cerita pelan-pelan." Utari menenangkan sembari mengelus pundakku.

"Orang itu bilang, dia akan membunuh keluarga kamu malam ini," ucapku mengingat ucapan-ucapan sosok bertudung saat berlari menghindarinya.

"Hah?"

"Dia bilang dia yang membunuh nenekmu dan aku harus bantu dia pergi. Kalau nggak, dia bakal bunuh aku," jelasku mengingat kembali sosok itu.

"Tenang dulu, tenang. Aku dan keluarga baik-baik aja kok. Mungkin itu orang iseng aja." Ucapan Utari benar-benar terdengar tenang.

"Nggak, saat lari dari kejarannya tadi aku tiba-tiba ingat dia, Tari," sangkalku menatap Utari.

"Kamu lihat wajahnya?" Nada suara Utari mendadak turun.

"Iya, dia ada di antara para pelayat hari ini. Aku lihat dia tersenyum saat nenek kamu dimakamkan dan sepertinya dia juga lihat aku saat itu."

"Apalagi ciri-cirinya?" Utari kini menjadi penasaran.

Aku segera menjelaskan ciri-ciri sosok bertudung itu, mulai dari wajahnya yang terlihat seperti wajah orang baik, suara beratnya, bahkan aroma melati bercampur minyak tanah di tubuhnya tiba-tiba teringat olehku. Utari pun segera memberitahu apa yang terjadi kepada keluarga besarnya, mereka semua memang berkumpul di sini hanya untuk almarhumah neneknya.

Mungkin Anda sukai: Semakin Dewasa

Beberapa menit kemudian, aku keluar dari kamar karena Utari tidak kembali ke kamar. Saat itulah aku melihat Utari sedang mengobrol dengan seseorang di depan rumah. Tapi, wajahnya tidak menampakkan kekalutan. Sepertinya dia tidak percaya dengan ucapanku.

Keluarga Utari pun menanyaiku lagi apa yang diceritakan Utari kepada mereka, kembali kuulangi apa yang kuingat saat bertemu sosok bertudung itu. Mereka pun segera memanggil kepala desa dan meminta perlindungan. Mencari sosok bertudung yang sesuai dengan deskripsiku.

Aku pun diantarkan pulang oleh beberapa warga desa yang hendak pergi ke kantor polisi terdekat. Aku sekalian diantarkan ke halte bus yang ramai, bahkan mereka benar-benar memastikanku naik bus yang tepat, sendirian tanpa orang mencurigakan.

Untuk keamanan, aku pun memutuskan pulang ke rumah ayah dan ibu, sebab putriku sudah dijemput oleh mereka. Kuhubungi kakakku yang bekerja sebagai polisi dan meminta perlindungan, kuhubungi juga suami yang sedang merantau untuk memberitahu apa yang baru saja terjadi.

***

Pagi ini, aku dan putriku bersiap untuk pulang ke rumah kontrakan kami. Ayah dan ibu sempat melarang kami pulang, tapi aku harus bekerja dan putriku pergi sekolah.

Ketika sibuk untuk bersiap-siap pergi, aku mendapatkan telepon dari Utari. Aku benar-benar penasaran soal semalam.

"Gimana, Tari? Orangnya ketangkap?" tanyaku.

"Nggak ada, tapi sekarang tetap dicari polisi." Suara Utari terdengar aneh.

"Kenapa nggak ada?" Aku mendadak cemas.

"Lin ..... Ayah, ibu dan pamanku ditemukan meninggal di gudang belakang tadi subuh. Gudang belakang nenek kebakaran."

"Innalilahi, terus kamu nggak apa-apa kan?" Aku benar-benar terkejut.

"Nggak apa-apa kok. Polisi tidak menemukan apa-apa. Sepertinya sosok yang kamu bilang nggak pernah ada, dan aku mau pergi ikut bibiku aja, kamu nggak usah cari aku ya," ungkap Utari sebelum mengakhiri telepon kami.

Usai ditelepon Utari, aku mendadak sedih, juga bertanya-tanya akan sikapnya dan siapa sangka itu menjadi pembicaraan terakhir antara aku dan Utari.


***

[Cerpen Thriller]—Bertahun-tahun berlalu, tak ada berita apa-apa dari Utari. Aku pun melanjutkan hidup walau terkadang masih sering mendapatkan mimpi buruk.

Kebetulan, hari ini ada tetangga baru di unit apartemenku. Aku kini tinggal di apartemen karena suamiku yang merantau di luar negeri membantu keuangan keluarga kecil kami menjadi lebih layak lagi. Sehingga kami pun pindah dari rumah kontrakan itu.

Keluarga kecil kami sudah setahun tinggal di sini dan akhirnya aku akan punya tetangga juga, karena unit itu selalu kosong.

Aku dan putriku sangat menantikan tetangga baru kami, sore itu kami pun memutuskan untuk berkunjung dengan membawa bolu sebagai sambutan selamat bertetangga.

Pintu unit yang tepat di sebelah unitku itu terbuka. Sosok tak asing muncul, dialah Utari. Aku kaget, begitu pun Utari. Lama tidak bertemu kami berbagi pelukan hangat dan sapaan. 

Beberapa saat kemudian suara yang tak asing muncul dari dalam.

"Siapa, sayang?"

Suara itu? Kenapa tidak asing ya? Tapi, aku tidak tahu suara siapa. Suara itu seperti suara dalam mimpi burukku. Suara yang membuatku harus minum obat anti depresan selama berbulan-bulan.

"Temanku, Bang. Linda, yang sering aku ceritakan itu," sahut Utari menoleh ke belakang.

Sosok lelaki itu kini berdiri di belakang Utari dengan senyuman ramah, senyuman yang entah kenapa membuatku merinding.

"Halo, akhirnya kita ketemu lagi," ucapnya membuatku melangkah mundur sembari menarik putriku yang masih memegang bolu. Kakiku refleks lemas seketika.

"Linda kamu kenapa?" tanya Utari.

"Ini bolunya, sampai ketemu lagi ya." Aku segera menyodorkan kotak plastik berisi bolu dan menarik tangan putriku yang kini sudah berusia 9 tahun. "Ayo, sayang."

"Tapi, Bu. Aku masih mau ngobrol sama Tante Utari." Putriku menolak. "Tante masih ingat aku, kan?" lanjutnya.

"Masih dong, kamu udah besar ya?"

"Ibu, di sini dulu ya." Putriku mulai merengek.

"Iya, kamu nggak masuk dulu, Lin? Udah lama loh kita nggak ketemu. Kamu juga baru ketemu suamiku 'kan?" Utari menahan tanganku. "Ini—"

"Nggak," selaku. "Aku pergi dulu ya, permisi!" ujarku menepis tangan Utari dan menarik putriku sembari mempercepat langkah.

Sialan, itu adalah sosok bertudung. Kenapa dia bersama Utari? Kenapa?

Aku sampai kesulitan membuka pintu rumah, saat itulah aku menoleh ke arah Utari dan suaminya. Mereka berdua sedang tersenyum padaku dengan gestur jari telunjuk di mulut, keduanya seolah-olah memintaku untuk diam.

"Mati aku!" gumamku.

***

TAMAT 
Gorontalo, 19 Mei 2024

Open ending gaes, silakan beropini soal ceritanya. Terima kasih sudah membaca cerpen thriller ini. Selamat membaca dan ayo follow Blog Kak Bi ini untuk baca cerpen tentang persahabatan atau Thriller lainnya.

Komentar

Populer

Mengenal Suku dan Masyarakat Adat Gorontalo Lebih Dekat

Cerpen Horor Spesial Nadia Omara: Diamond Play Button

Review Drama Korea The Trauma Code: Heroes on Call (2025)

Short Story: The Guardian of the Sword of Light (English Version of Penjaga Pedang Cahaya)