Terbaru
Cerpen Thriller: Sosok Bertudung
Cerpen Thriller: Sosok Bertudung
Pengembara lebih suka baca cerpen thriller atau cerpen misteri? Kalau suka thriller, yuk baca cerpen thriller: Sosok Bertudung yang satu ini.
[Cerpen Thriller]—Aku berdiri di bawah malam kelam, tak ada bulan maupun bintang yang menghiasi langit.
Padahal tempat ini termasuk wilayah terpencil, bukankah seharusnya aku bisa melihat bintang? Kenapa hanya kegelapan pekat yang menyelimuti desa kecil ini? Apa polusi cahaya di perkotaan telah menjangkit pedesaan?
Ya, aku baru saja pulang dari pemakaman neneknya sahabatku, sebenarnya dia sempat melarangku untuk pulang karena sudah malam. Tapi, aku tak bisa membiarkan putriku sendirian di rumah. Sehingga aku pun diantarkan olehnya ke pangkalan angkot terdekat, karena katanya angkot paling lambat ada jam 9 malam.
Saat tengah berdiri di pangkalan angkot yang memang jauh dari desa sahabatku, aku melihat sesuatu yang aneh dari kejauhan. Sosok bayangan dengan obor di sekitarnya membuatku memicingkan mata. Ah, mungkin saja warga desa sekitar sini.
"Kenapa nggak ada angkot di pangkalan ini? Padahal masih jam tujuh malam lewat sedikit. Harusnya aku masih bisa pulang dengan naik angkot dari sini," gumamku sendirian untuk memecah hening.
Akan tetapi, ini aneh sekali, Sosok itu semakin mendekat, dan aku bisa melihat wajahnya dengan jelas di bawah tudung dari mantel besar dan tongkat serupa obor yang menyala di tangan kanannya.
Siapa jaman sekarang yang membawa obor di jalanan seperti itu?
"Permisi," ucapnya dengan suara berat yang membuatku bergidik. Aku melangkah mundur, mencoba menjauh. "Angkotnya belum datang ya?" tanyanya.
"I-iya," jawabku, berusaha terdengar tenang meski hati diliputi ketakutan. Aku menggeser langkah ke samping agak menjauhinya. Di mana angkot? Apa tidak akan ada angkot malam ini? Rasanya aneh semenjak sosok bertudung berdiri di sini.
Aku melirik dan berhasil melihat wajahnya yang disinari obor di tangan kanannya itu.
"Kenapa?" tanyanya tiba-tiba, sepertinya menyadari kalau aku tengah memandanginya. Segera kualihkan pandangan, dan berdehem sejenak.
"Ya?" sahutku bertanya takut-takut. Dia diam sejenak, sambil terdengar suara embusan napas berat.
"Memangnya mau ke mana, Mbak?" tanyanya dengan suara berat.
"Dari mana, Mbak?"
"Dari rumah keluarga Utari," jawabku tersenyum canggung.
"Sendirian 'kan?" tanyanya dengan suara yang mendadak lembut.
Deg.
Aku mendadak merinding, pertanyaan itu membuat instingku menjerit. Sesegera mungkin mengambil ponsel dan mengirimkan pesan kepada Utari.
[Utari, aku masih di pangkalan nungguin angkot. Tapi, ada orang aneh bertudung yang bawa obor dan berdiri di sebelahku. Aku takut. Tolong jemput ya. Aku nggak jadi pulang.]
"Saya kenal Utari. Neneknya baru meninggal 'kan?" Dia membuka pembicaraan dan membuatku sempat menghentikan ketikan di layar ponsel.
Baca juga: The GuestCerpen lainnya: Investigasi Padang Ilalang
[Cerpen Thriller]—Biar tampak sibuk di ponsel, aku segera mengirimkan pesan pada ibu dan ayah, lalu meminta mereka untuk menjemput putriku yang sendirian di rumah. Karena pasti pengasuhnya sudah pulang.
"Neneknya Utari itu orang baik," lanjutnya tertawa kecil.
"Tahu," jawabnya masih menatap jalanan. Suaranya benar-benar aneh, terasa mencurigakan.
Apa aku balik sekarang saja ke rumah nenek Utari? Tapi, itu jauh sekali.
Tiba-tiba dia menatapku, aku bisa merasakan itu. Sungguh. Perlahan aku melirik dan seketika pandangan kami bertemu. Wajahnya tidak begitu asing, tapi aku tak kenal. Seperti hanya manusia random yang mungkin pernah bertemu denganku di suatu tempat. Aku segera menundukkan kepala sambil kembali tersenyum canggung.
"Mbak bisa lari, nggak?" tanyanya tiba-tiba. Gila, pertanyaan macam apa itu?
"Ya?" Napas ini semakin berat saat mendengarnya, dia tiba-tiba terkekeh.
"Saya ...." Ucapannya terhenti sejenak. Aku bisa melihat kakinya bergerak dan berputar ke arahku.
"Mbak pilih lari? Atau bantu saya?" sambungnya menyodorkan obor ke wajahku. Hanya beberapa senti saja dari wajah, aku bisa merasakan panas dari benda menyala itu.
Mendengar itu aku segera melemparkan tas ke arahnya dan berlari menjauhi pangkalan angkot. Tujuanku hanya kembali ke rumah neneknya Utari.
Dengan napas tersengal-sengal, terus berlari di sepanjang jalan. Aku tidak punya pilihan lain, harus mencapai desa sebelum orang itu menangkapku. Ya, aku ingat dia. Dia bertemu denganku saat pemakaman neneknya Utari tadi siang.
Di mana aku ingat betul, orang-orang berbisik sembari menatapnya. Tapi, aku tidak kenal dia. Aku harus segera membawa kabar penting sekaligus menyelamatkan diri. Aku pernah lari maraton dan bisa terus berlari asalkan fokus. Aku pun berlari secepat mungkin dengan napas semakin berat dan jantung berdegup kencang.
Di setiap langkah, aku merasakan ketakutan yang luar biasa. "Aku harus sampai ke sana," pikirku panik, sambil mengingat wajah putriku. Langkah malah semakin berat, tapi aku tidak bisa berhenti. Aku harus terus berlari. Adrenalin melonjak, mengingat sosok bertudung yang mungkin masih mengejar di belakang sana.
Dengan sisa tenaga yang ada, aku mempercepat langkah, sambil merengek dan menahan sakit. Entah sudah berapa lama aku berlari, dari kejauhan aku menyadari telah sampai di pemukiman.
Entah kenapa, aku bisa merasakan hawa panas di tengkuk, seolah-olah sosok bertudung itu sudah berada tepat di belakang. Seketika aku jatuh lemas dan tak mengingat apa-apa.
[Cerpen Thriller]—Aku merasakan sesak yang teramat sangat dan terbangun dengan posisi telentang. Aku mengatur napas dan mencoba tenang, lalu perlahan duduk sambil memerhatikan sekitar.
Betul saja, tak butuh waktu lama Utari masuk ke kamar dengan baskom di tangan. "Kamu udah bangun, Lin?" Utari meletakkan baskom ke meja dan hendak memelukku.
"Berapa lama aku pingsan?" sergahku memegangi tangan Utari.
"Aku nggak tahu, karena kamu baru beberapa menit yang lalu diantarkan bapak-bapak di poskamling. Ada apa sih, Lin?" Utari menatapku bingung.
"Kamu nggak baca pesan aku?"
"Maaf, hape aku lowbat. Aku nggak sempat charger tadi. Kenapa?"
"Aku ketemu orang aneh di pangkalan angkot dan dia bilang sesuatu yang bikin aku bingung ...."
"Apa itu? Kamu tenang dulu, cerita pelan-pelan." Utari menenangkan sembari mengelus pundakku.
"Orang itu bilang, dia akan membunuh keluarga kamu malam ini," ucapku mengingat ucapan-ucapan sosok bertudung saat berlari menghindarinya.
"Hah?"
"Dia bilang dia yang membunuh nenekmu dan aku harus bantu dia pergi. Kalau nggak, dia bakal bunuh aku," jelasku mengingat kembali sosok itu.
"Tenang dulu, tenang. Aku dan keluarga baik-baik aja kok. Mungkin itu orang iseng aja." Ucapan Utari benar-benar terdengar tenang.
"Nggak, saat lari dari kejarannya tadi aku tiba-tiba ingat dia, Tari," sangkalku menatap Utari.
"Kamu lihat wajahnya?" Nada suara Utari mendadak turun.
"Iya, dia ada di antara para pelayat hari ini. Aku lihat dia tersenyum saat nenek kamu dimakamkan dan sepertinya dia juga lihat aku saat itu."
"Apalagi ciri-cirinya?" Utari kini menjadi penasaran.
Mungkin Anda sukai: Semakin DewasaCerpen lainnya: Cerpen Misteri di Kereta Malam
Ketika sibuk untuk bersiap-siap pergi, aku mendapatkan telepon dari Utari. Aku benar-benar penasaran soal semalam.
"Gimana, Tari? Orangnya ketangkap?" tanyaku.
"Nggak ada, tapi sekarang tetap dicari polisi." Suara Utari terdengar aneh.
"Kenapa nggak ada?" Aku mendadak cemas.
"Lin ..... Ayah, ibu dan pamanku ditemukan meninggal di gudang belakang tadi subuh. Gudang belakang nenek kebakaran."
"Innalilahi, terus kamu nggak apa-apa kan?" Aku benar-benar terkejut.
"Nggak apa-apa kok. Polisi tidak menemukan apa-apa. Sepertinya sosok yang kamu bilang nggak pernah ada, dan aku mau pergi ikut bibiku aja, kamu nggak usah cari aku ya," ungkap Utari sebelum mengakhiri telepon kami.
[Cerpen Thriller]—Bertahun-tahun berlalu, tak ada berita apa-apa dari Utari. Aku pun melanjutkan hidup walau terkadang masih sering mendapatkan mimpi buruk.
Beberapa saat kemudian suara yang tak asing muncul dari dalam.
"Siapa, sayang?"
Suara itu? Kenapa tidak asing ya? Tapi, aku tidak tahu suara siapa. Suara itu seperti suara dalam mimpi burukku. Suara yang membuatku harus minum obat anti depresan selama berbulan-bulan.
"Temanku, Bang. Linda, yang sering aku ceritakan itu," sahut Utari menoleh ke belakang.
Sosok lelaki itu kini berdiri di belakang Utari dengan senyuman ramah, senyuman yang entah kenapa membuatku merinding.
"Halo, akhirnya kita ketemu lagi," ucapnya membuatku melangkah mundur sembari menarik putriku yang masih memegang bolu. Kakiku refleks lemas seketika.
"Linda kamu kenapa?" tanya Utari.
"Ini bolunya, sampai ketemu lagi ya." Aku segera menyodorkan kotak plastik berisi bolu dan menarik tangan putriku yang kini sudah berusia 9 tahun. "Ayo, sayang."
"Tapi, Bu. Aku masih mau ngobrol sama Tante Utari." Putriku menolak. "Tante masih ingat aku, kan?" lanjutnya.
"Masih dong, kamu udah besar ya?"
"Ibu, di sini dulu ya." Putriku mulai merengek.
"Iya, kamu nggak masuk dulu, Lin? Udah lama loh kita nggak ketemu. Kamu juga baru ketemu suamiku 'kan?" Utari menahan tanganku. "Ini—"
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar