Cerpen Misteri-Fantasi: Penjaga Kapal Karam
Cerpen Misteri-Fantasi: Penjaga Kapal Karam
Dunia cerpen fantasi menawarkan pintu menuju alam imajinasi tak terbatas, tempat di mana pembaca diundang untuk terbang jauh melampaui batas kenyataan. Dengan kisah bajak laut abal-abal, kali ini Kak Bi coba memikat Pengembara dalam cerpen fantasi penuh misteri dan keajaiban.
***
"Apakah kamu masih mengingat cerita tentang suatu titik di lautan lepas yang jarang dilalui kapal?" tanya lelaki berpakaian serba cokelat sembari menatap lautan lepas.
"Iya, Ayah. Arkanaga dan si pencuri kapal!" jawab pemuda berbadan tipis yang berdiri tepat di sampingnya.
"Di titik itulah, kapal legendaris keluarga kita berada, Arkanaga. Kapal curian milik Kapten Aksenio, bajak laut yang ditakuti dan disegani di sepanjang samudera," ungkapnya.
"Ah, apa titik itu yang akan kita tuju kali ini, Ayah?"
"Ya, kita harus menaklukkan kapal itu dan membawanya kembali ke Noesantara. Mengembalikan warisan keluarga kita kembali pada tempatnya." Lelaki itu mengacak rambut putranya dengan kasar.
"Tapi, kapal itu cuma legenda, Ayah," celetuk pemuda itu menepis tangan sang ayah.
"Tidak. Kabarnya nasib kapal itu berubah ketika badai dahsyat menghantam dan menenggelamkannya ke dasar laut. Namun, Arkanaga tidak benar-benar hilang, Anuar."
"Benarkah?" Anuar menatap ayahnya penuh tanya. Lalu mengalihkan pada beberapa awak kapal yang juga ikut mendengarkan cerita Kapten Samudera.
***
Kapal Arkanaga, kapal yang dicuri Kapten Aksenio saat berlayar ke Noesantara. Kapal tuanya ditinggalkan begitu saja di dermaga dan kabur membawa kapal Arkanaga.
Menurut legenda, Kapten Aksenio bersama awak kapalnya menjelajahi lautan dan berbuat jahat selama bertahun-tahun. Sampai pada akhirnya kapal mereka hilang usai badai. Diceritakan, kapal ini sering muncul di sebuah titik di lautan lepas.
Sebagai legenda yang telah menyebar di sepanjang samudera, kapal Arkanaga dianggap sebagai penjaga kapal karam yang menyimpan banyak misteri di dalamnya. Setiap kapal pelaut yang karam melintasi titik tertentu, kapal itu akan kembali ke permukaan usai bertemu kapal Arkanaga. Tapi, kemudian Arkanaga akan lenyap begitu saja.
Tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kapal Arkanaga, Kapten Aksenio dan para awak kapalnya. Banyak cerita-cerita yang berembus bahwa mereka tetap di lautan demi menjaga harta karun tak ternilai yang masih tersimpan di dalam lambung kapal dan ada lagi yang berkata bahwa mereka menunggu untuk dibebaskan.
***
Di bawah cahaya bulan purnama, kapal Aura terus berlayar melewati perairan tenang. Namun, ketenangan itu mulai terasa hanya ilusi belaka saat seorang awak kapal mengeluh mendengar suara lumba-lumba di bagian belakang kapal, awak kapal lainnya mengaku melihat perahu-perahu kecil mengelilingi kapal mereka.
Kapten Samudera, yang sudah lama mendengar desas-desus tentang legenda dan keberadaan Arkanaga pun yakin bahwa mereka sudah tiba di perairan yang dimaksud. Perairan tempat hilangnya kapal Arkanaga.
Kapten Samudera memutuskan untuk memegang kendali. Anuar, putra tertuanya yang baru berusia 16 tahun dipaksa berdiri di dek senjata. Membantu para awak di sana, kalau-kalau mereka diserang oleh sesuatu.
Semua awak bersiap-siap pada tempatnya usai mendengar perintah Kapten Samudera. Benar saja, tidak butuh waktu lama sampai mereka merasakan lautan mendadak tenang, layar di tiang kapal lunglai dengan sendirinya.
Seketika kabut mulai menyelimuti laut, kapal Aura pun terguncang hebat. Tepat dari buritan kapal dan membuat jatuh beberapa awak yang berdiri di pinggiran kapal untuk memeriksa sekitar. Mereka pun lenyap.
"Kapten! Kapal kita dihantam sesuatu!" Teriak salah satu awak.
Kapten Samudera bergegas ke anjungan, hanya untuk menunggu kemunculan Arkanaga, dia yakin bahwa berhasil menembus tabir lautan yang menyembunyikan kapal Arkanaga.
Kembali kapal berguncang hebat, jauh di hadapan kapal mereka air laut mendadak mendidih dan mengeluarkan gelembung hijau.
Saat Kapal Aura mendekat, suara tawa yang menakutkan terdengar dari bawah laut
"Arkanaga?" seru awak kapal yang berdiri di samping Kapten Samudera.
Benar saja, di hadapan mereka muncul tiang-tiang kapal dari dalam air. Perlahan naik ke atas bersamaan dengan gemuruh dan sinaran bak bara api.
Kapal Arkanaga muncul ke permukaan. Akan tetapi, tidak ada siapa-siapa di sana. Penuh keberanian Kapten Samudera memutuskan pergi memeriksa kapal Arkanaga dan meminta awak lainnya untuk tetap tinggal di kapal Aura, serta menjaga Anuar.
***
Perahu-perahu kecil Kapten Samudera tiba di samping kapal Arkanaga, di sepanjang badan kapal banyak ukiran-ukiran kembang dan burung khas Noesantara.
Kapal itu terdiam di tengah lautan, megah tapi menakutkan. Tiang-tiangnya menjulang ke langit, dihiasi dengan ukiran khas yang sebagian sudah terkikis oleh waktu.
Dilemparkannya oleh para awak tali-temali menuju pinggiran kapal misterius itu. Arkanaga, berhasil ditaklukkan semudah memanjat bukit belakang rumah di daratan mereka.
Begitu tiba di atas kapal, lambang-lambang misterius terpahat di geladak kapal, memberikan kesan bahwa kapal ini adalah tempat dari masa lalu yang sudah terlupakan. Tiba-tiba saja, kabut menjadi semakin tebal dan angin mulai berembus kencang. Kapal Arkanaga mengeluarkan bunyi aneh dari bawah kapal. Seketika, layar kapal terbuka dan kapal mulai bergerak.
Kabut tebal semakin menyelimuti lautan, menyebabkan penglihatan semakin rendah. Ombak besar bergulung-gulung, menghantam sisi-sisi kapal dengan keras. Di kejauhan, kilat menyambar seolah badai sedang mendekat.
Kita berlayar!" seru seorang kru bertopi hitam sembari menahan tali-temali di sekitar tiang layar kapal.
Saat semua awak yang ikut bersamanya tengah kelimpungan, Kapten Samudera terfokus pada sosok patung batu berwajah manusia di geladak.
Ternyata, patung itu adalah sosok Kapten Aksenio, sang perompak legendaris. Berada dalam bentuk yang tidak diperkirakan sebelumnya, seolah sedang menjaga kapal, patung itu pun mulai bergerak dan bersuara seram.
"Selamat datang di kapalku, Arkanaga. Salam pelaut dariku, Kapten Aksenio, wahai kapten ...," ucap sosok patung dengan suara yang membuat seisi kapal bergetar.
Kapten Samudera terdiam, tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Awak kapal pun terhenti, mereka tersentak kaget dengan suara itu dan coba mencari asal suara dalam diam.
"Dalam mencari harta karunku yang tersembunyi, kau telah menembus perlindungan yang diciptakan dewi lautan. Kini, kau harus membuktikan keberanianmu," lanjut suara Kapten Aksenio.
Kapten Samudera merasa tegang, tapi tekadnya tidak mudah goyah. Dengan langkah mantap, dia melangkah mendekati patung Kapten Aksenio.
"Aku bukan datang untuk harta karunmu. Aku adalah cucu dari pemilik Arkanaga yang sesungguhnya," ucap Kapten Samudera mencoba tegas.
"Tak mencari harta? Hmm? Sosok aneh! Hmm, kalian makhluk bernyawa. Manusia ...." Mata patung Kapten Aksenio bergerak dan tiba-tiba menatap Kapten Samudera. "Hmm, wewangian rempah dan aroma lautan hindia pasifik," lanjutnya masih dengan badan yang membeku.
"Katakan padaku bagaimana caranya mengambil kapal ini?" desak Kapten Samudera.
"Arkanaga? Tak ada pencarian harta karun, tak ada informasi," ujarnya tertawa, tiba-tiba lautan menjadi tenang.
Kapten Samudera mengangguk paham. "Baiklah, tunjukkan padaku harta karun yang kau sembunyikan di dalam kapal ini."
"Ambil ini!" Kapten Aksenio mengangkat tangannya yang membatu sangat pelan ke arah Kapten Samudera. Di tangannya ada sebuah cincin dengan batu merah.
Ketika Kapten Samudera menyentuh cincin di jari patung Kapten Aksenio, tiba-tiba saja seluruh kapal mulai bergetar.
Kini di lantai kayu hadapan mereka, terbuka sebuah pintu rahasia yang menuju ruang bawah kapal. Setelah itu, patung Kapten Aksenio kembali membeku seolah tertidur dengan wajah murammya.
Kapten Samudera dan awak kapalnya memasuki ruangan tersebut. Mereka tercengang melihat harta karun yang berkilauan di bawah cahaya lampu kapal dan cahaya tipis dari bulan.
Kapten Samudera memerintahkan para awak untuk mencari kompas emas dan teropong dengan ukiran bunga honje, dia juga melarang awak kapal mencuri apapun dari harta karun selain barang yang dimintanya.
Baca juga: 2001: A Space OdysseyCerpen lainnya: Nama Pena Misterius
Perlahan-lahan, mereka mulai memeriksa setiap sudut dengan menyalakan sebuah kotak yang bisa mengeluarkan api kecil ketika digesek.
Ini aneh, bagaimana bisa semudah ini? Apa maksud makhluk itu? batin Kapten Samudera.
Benda yang dicari pun berhasil ditemukan. Akan tetapi, ruangan itu berguncang hebat dan pintu rahasia tertutup dengan keras. Mereka semua terperangkap di dalamnya.
Kapten Samudera kemudian menyadari bahwa ada beberapa awak yang mengambil harta karun. "Kembalikan semuanya!" perintahnya tegas.
Ruangan tiba-tiba jadi gelap dan patung Kapten Aksenio berdiri dengan tubuh bersinar kehijauan.
Dalam kegelapan dan kekacauan, patung Kapten Aksenio mendadak berdiri di tengah emas dan hartanya dengan tubuh yang menyala kehijauan. "Manusia serakah! Bertanya soal kapalku, tapi tujuanmu tetaplah harta benda. Bodoh!"
Kapten Samudera mencabut pedang pusaka keluarganya, kilauan logamnya memantulkan cahaya bulan yang redup.
"Jika kau bisa mengalahkanku, aku akan melakukan apapun yang kau mau," tantang Aksenio.
Kapten Samudera setuju, seketika kilauan aneh menyerbu mereka. Awak kapalnya tertidur seketika dan Kapten Samudera kini menyadari bahwa dirinya telah berpindah tempat, kembali ke geladak dengan pemandangan malam yang mengesankan.
Patung Kapten Aksenio mengeluarkan pedang batunya, Kapten Samudera terkekeh. Tapi, serangan demi serangan justru datang dengan sangat lincah.
Suara dentingan pedang mereka beradu mengisi udara malam, menciptakan percikan api setiap kali logam bertemu logam. Kapten Samudera merasakan setiap serangan lawannya, napasnya berat, namun tekadnya tidak goyah. Dengan setiap serangan, dia mengingat pelajaran dari kakeknya, mencari titik lemah di tubuh patung batu itu.
"Apa ini? Padahal dia patung batu? Kenapa jadi sangat lincah?" gumam Kapten Samudera terheran-heran.
"Teruskan, Manusia!"
Pertarungan antara Kapten Samudera dan Kapten Aksenio berlangsung sengit. Meskipun Kapten Aksenio adalah patung batu, kekuatan dan kecepatannya jauh melampaui manusia biasa.
***
Pada akhirnya, Kapten Samudera berhasil memukul jatuh pedang Aksenio saat sengaja menusuk titik-titik merah yang ada di tubuhnya. Sang kapten patung terjatuh, tetapi dia tertawa. "Kau telah membuktikan dirimu, Kapten. Harta karun itu sekarang milikmu, tetapi ingatlah, harta yang sejati bukanlah emas dan—"
"Aku datang kemari bukan untuk emasmu. Aku datang untuk mengambil kembali kapal Arkanaga," potong Kapten Samudera begitu lancang. Merasa berhak merendahkan usai menang dalam perkelahian kecil itu.
"Arkanaga telah menjadi penjaga lautan, yang mencegah kapal-kapal karam di sekitarnya. Kau mau membunuh para pelayar dengan mengambil kapal ini?" ungkap Kapten Aksenio serius. "Bisa saja kukembalikan kapal ini padamu, tapi kau dan awak kapalmu akan terperangkap di sini untuk menggantikanku menerima kutukan dewi laut," lanjutnya.
Mendengar kata-kata itu, Kapten Samudera terdiam. Entah benar atau tidak yang dikatakan kapten patung batu itu, akan tetapi Kapten Samudera tak ingin membunuh.
"Kau bilang akan melakukan apapun yang kuminta?" Kapten Samudera coba mengikuti permainan Kapten Aksenio.
"Ya, selain kapal ini!"
"Kalau begitu, bebaskan awak kapalku. Biarkan aku membawa pergi beberapa benda yang jadi pertanda keberadaan Arkanaga untuk negeriku."
"Kompas dan teropong milik kakekmu?" tebaknya.
"Ya, aku hanya butuh itu jika kau memang tidak bisa memberikan kapal ini." Kapten Samudera tak ingin mengambil resiko, dia ingin sebisa mungkin mengurangi korban jiwa yang mungkin tercipta hanya atas dasar keegoisannya mengambil kembali kapal Arkanaga.
"Aku punya ide yang lebih baik," ujar Kapten Aksenio bergerak pelan mendekati Kapten Samudera.
"Apa itu?"
"Aku lelah menjadi penjaga kapal karam. Kubebaskan awak kapalmu, kau bebaskan aku. Tapi, apa kau bersedia menggantikanku?" tawarnya dengan senyuman berbahaya.
"Ini kutukanmu dan aku tidak peduli. Lakukan apa yang kuminta, atau kurebut kapal ini dengan caraku sendiri." Kapten Samudera mengarahkan pedang ke mata Kapten Aksenio yang berwarna biru.
Kapten Aksenio memandang pedang yang diarahkan ke arahnya dengan ekspresi datar. "Baiklah, Kapten. Kau telah membuktikan keberanian dan tekadmu. Akan kubebaskan awak kapalmamu, dan kau boleh mengambil barang-barang milik kakekmu."
Dengan satu gerakan lambat, patung Kapten Aksenio menurunkan pedang Kapten Samudera dengan jarinya dan melangkah mundur. Sebuah cahaya hijau lembut mulai bersinar dari pusat tubuhnya, memancar ke seluruh ruangan dan melingkupi awak kapal yang tertidur.
Dalam sekejap, mereka terbangun, bingung tetapi dalam keadaan tetap utuh.
"Kita harus pergi sekarang," perintah Kapten Samudera. "Ambil hanya kompas dan teropong itu." Kapten Samudera menunjuk barang-barang milik kakeknya yang dipegang salah seorang awak kapal.
Mereka bergegas kembali ke perahu dan hendak menjauhi kapal Arkanaga yang takkan bisa kembali pulang ke Noesantara itu.
"Jangan pernah kembali, Manusia. Rahasiakan aku dari peradaban. Jika kau merusak reputasiku, anak cucumu akan kembali ke sini untuk menggantikanku menjaga kapal karam." Kata-kata Kapten Aksenio, terdengar dari dalam kapal Arkanaga.
Kapten Samudera mengangguk. "Aku tak akan kembali. Aku berjanji."
Dengan bergidik ketakutan, para awak dan Kapten Samudera kembali ke kapal Aura dengan mendayung perahu kecil sepenuh tenaga. Seketika, laut bergetar kapal Arkanaga kembali ke dasar lautan. Perahu-perahu kecil mereka melewati kabut dan asap, sebuah tabir yang melindungi lokasi kapal Arkanaga.
***
Setelah mereka semua naik kembali ke kapal Aura, kabut tebal yang menyelimuti mulai memudar. Anuar dan para awak di kapal Aura berhamburan membantu ayahnya.
Anuar juga memberitahu bahwa dia merasa khawatir, sebab ketika melewati kabut tebal perahu Kapten Samudera dan para awak menghilang begitu saja. Tapi, mereka tetap menunggu sebab Kapal Arkanaga masih nampak oleh mata mereka semua yang ada di kapal Aura.
Anuar pun mempertanyakan berbagai hal demi memuaskan rasa penasaran dan kekhawatirannya. Tapi, ayahnya hanya diam.
Mengingat ucapan Kapten Aksenio, semua orang yang kembali dari kapal Arkanaga memilih diam. Meskipun seribu pertanyaan dilontarkan mereka mengaku tak menemukan apa-apa dalam kapal misterius yang muncul menghadang Kapal Aura.
Setelah perairan kembali tenang, Kapten Samudera berdiri di geladak kapal, memandangi kompas di tangannya dan memberikan teropong kepada putranya.
"Anuar, lihatlah. Ini adalah simbol kebanggaan keluarga kita, dan juga peringatan akan kekuatan laut yang tak terduga," ungkap Kapten Samudera sendu.
"Sepertinya kita gagal mendapatkan Arkanaga. Padahal kapal itu sudah ada di depan mataku." Anuar protes dengan nada pelan.
"Kita tidak bisa membawa kapal itu pergi dari titik kutukannya. Aku sudah bertemu Kapten Aksenio."
"Kenapa? Sedikit lebih dewasa saja, aku pasti bisa membantu Ayah merebut warisan keluarga kita itu."
"Ya, Anuar. Kau bisa kembali ke sana jika ingin menggantikan Kapten Aksenio menjadi sang penjaga kapal karam."
"Apa maksudnya, Ayah?"
"Kelak, hindari Arkanaga, dia sudah bukan milik keluarga kita," ungkap Kapten Samudera menatap lautan lepas.
Anuar yang berdiri di samping ayahnya, menatap dengan rasa kecewa. Anuar tak tahu pasti apa yang terjadi di kapal Arkanaga, tapi dia akan coba untuk mematuhi perintah ayahnya.
Kapal Aura pun berlayar kembali menuju Noesantara, membawa kompas, teropong dan cerita petualangan yang akan diwariskan dari generasi ke generasi.
Legenda Arkanaga dan Kapten Aksenio sang penjaga kapal karam akan terus hidup diantara para pelaut dan pencinta lautan lepas.
TAMAT
Gorontalo, 25 Mei 2024
***
Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca cerpen fantasi sederhana ini. Mohon maaf bila ada kesalahan penyebutan tentang bagian-bagian kapal.


Komentar
Posting Komentar