Dua Cerpen Misteri Singkat: Gerobak Bakso dan Takut Ambulans
Dua Cerpen Misteri Singkat: Gerobak Bakso dan Takut Ambulans
Hai, Pengembara. Malam jumat ini aku kasih 2 cerpen misteri singkat ya. Selamat membaca.
***
1. Cerpen Misteri Singkat: Gerobak Bakso
Kabarnya, setiap jam delapan malam. Akan ada gerobak bakso keliling di sekitaran kompleks.
Ting! Ting! Ting!
Bunyinya sangat ramah di telinga, menggugah selera makan yang tertunda akibat malas dan lelah. Tetapi, anehnya setiap kali penghuni rumah hendak membeli. Gerobak bakso tidak pernah muncul, suaranya seolah berpindah ke tempat lain.
Icha, seorang penghuni baru di kompleks perumahan Bougenville, dia sudah menantikan kedatangan gerobak bakso selama beberapa hari. Dia sangat ingin makan bakso dari penjual di gerobak itu, mungkin bawaan hamil muda. Sebelum suara ting-ting terdengar, Icha sudah menunggu di depan pagar rumah dengan mangkok plastik di tangannya.
Suara gerobak bakso, akhirnya terdengar lagi setelah penantian panjang. Icha berhasil memberhentikan penjual bakso misterius yang katanya hampir tak ada yang pernah memakan bakso dari penjual ini. Icha pun membeli bakso dari gerobak bakso yang sering hilang kala hendak dipanggil itu.
Lelaki bertopi kusam, menurunkan kayu untuk menopang gerobak bakso.
"Mau pesan apa, Neng?" tanyanya dengan suara pelan.
"Bakso aja, Pak!" Icha menatap penjual bakso yang bergerak sangat pelan saat sedang menyajikan bakso pesanan Icha.
"Berapa?" tanyanya lagi.
"Sepuluh ribu aja, Pak. Eh, sama pangsitnya lima ribu." Icha menyerahkan mangkoknya. Tapi, diabaikan oleh si penjual bakso.
"Makan di sini?"
"Dibawa pulang, Pak!" jawab Icha sesekali menatap wajah penjual bakso yang pucat.
Penjual bakso mendadak menatap Icha dengan wajah kesal. "Makan di sini!" ujarnya membuka bagian bawah gerobak dan mengeluarkan bangku plastik berukuran kecil.
Icha merasa terjebak, ekspresi wajah penjual bakso membuatnya tidak nyaman untuk menolak. Akhirnya, Icha duduk di bangku plastik dan makan bakso di depan rumahnya dengan penerangan hanya dari lampu jalanan serta gerobak bakso yang remang-remang, lampunya bahkan berkedip-kedip.
***
Setelah makan bakso tersebut, Icha masih ingin membawakan bakso untuk suaminya. Bakso yang memang terasa enak di lidah dan sayang kalau tidak tambah lagi.
"Pak pesan satu lagi ya, mau dibawa pulang. Ini mangkok saya." Icha kembali menyerahkan mangkoknya.
"Makan di sini!" perintahnya.
"Suami saya belum pulang, Pak. Ini uangnya, tolong dibungkus aja kalau nggak mau pakai mangkok saya." Icha bicara tegas sambil mengeluarkan uang lima puluh ribu.
"Buang saja, kalau ada yang terjadi," ucap penjual bakso beraroma kikil dengan nada datar. Icha tidak mengerti dan hanya mengiyakan, jika saja bukan karena baksonya yang enak, Icha pasti tidak akan pesan satu lagi.
Pesanan sudah siap, Icha berjalan masuk ke halaman rumah dan menutup pagar. Suara ting-ting kembali terdengar diiringi dorongan gerobak bakso. Dari celah-celah pagar, Icha bertatapan dengan si penjual bakso. Sosok itu tersenyum aneh, dengan mata yang menyorot tajam.
Sementara itu, Icha menyadari bahwa penjual bakso ternyata tak punya bayangan. Icha merinding, tapi dia penasaran dan berlari kembali ke depan pagar.
Icha keluar dari halaman rumah dan terdiam saat mendengar bunyi ting-ting gerobak bakso tanpa ada gerobak baksonya. Ya, gerobak bakso menghilang begitu saja, begitu pula si penjual. Akan tetapi suara ting-ting masih terdengar dekat.
Icha mengatur napas dan segera masuk ke dalam rumah. Dia mengendalikan diri dan membujuk ketakutan dalam jiwa untuk tidak meronta, dia meyakinkan diri bahwa semua itu hanya halusinasi.
Bakso di tas plastik putih yang diletakkan di mangkok plastik hanya ditatapnya diam-diam. Firasat aneh muncul kala pintu rumah tiba-tiba diketuk. Ternyata, suami Icha sudah pulang. Icha pun menawarkan bakso kepada suaminya dan sang suami bilang akan memakannya setelah mandi.
Icha pun menuangkan bakso ke mangkok dan meletakkan di meja makan tanpa rasa curiga apapun.
"Baksonya ada di meja ya! Aku mau sholat Isya dulu!" Icha pun meninggalkan bakso di meja dan menuju mushalla mini yang baru selesai dibangun dua hari lalu.
***
Setelah sholat, Icha mendekati suaminya yang sedang makan nasi dengan mie goreng di depan televisi.
"Loh? Kok kamu makan mie goreng? Baksonya udah habis?"
"Bakso apa sih?"
"Di mangkok, di meja!" ucap Icha berjalan menuju meja dapur.
"Cuma daun basah sama tulang-tulang kecil yang ada di situ!" teriak sang suami masih mengunyah.
"Hah?" Icha terhenti, ucapan sang suami sama dengan penampakan bakso di meja yang menjelma jadi sampah berbau busuk.
Icha mual, dia segera muntah-muntah. Ingin rasanya mengeluarkan bakso yang sudah dimakannya tadi, sayangnya semua telah dicerna. Icha merasa jijik karena merasa bisa jadi memakan bakso jadi-jadian seperti yang tersaji di atas meja makan.
Icha teringat ucapan si penjual bakso, dia pun segera membuang bakso untuk mengurangi rasa mual yang muncul. Tapi, nihil. Icha akhirnya tetap muntah-muntah, mencoba untuk mengeluarkan sisa bakso yang mungkin belum tercerna sepenuhnya.
Suaminya tentu panik melihat Icha, karena lama kelamaan Icha memuntahkan darah bersama kepingan-kepingan tulang yang membuat semakin banyak darah bercucuran.
Aroma kikil lewat di hidung Icha, Icha lemas dan hampir pingsan. Dia tak pernah menyangka akan merasakan hal mistis seperti ini.
Semenjak hari itu, Icha mendadak takut makan bakso yang dijual di jalanan. Dirinya kehilangan kemampuan untuk membedakan mana bakso asli dan mana bakso nyata.
Satu yang pasti, suara penjual bakso setiap malam menjadi alarm bagi tubuh Icha untuk muntah. Sebab, dirinya akan selalu terbayang mangkok berisi daun basah dengan air kotor berbau bangkai tikus, ada tulang-tulang kecil dan gumpalan darah dan banyak rambut yang muncul di piring dari yang seharusnya adalah bakso.
***
TAMAT
Gorontalo, 30 Januari 2024
***
Artikel lainnya: House of Secrets: The Burari Deaths
Cerpen misteri singkat lainnya: 10:52
2. Cerpen Misteri Singkat: Takut Ambulans
Aku tidak pernah bisa menahan diri saat suara itu berbunyi. Kegelisahan tak berujung akan semakin memuncak. Rasanya aku ingin menggali telinga saat suara berdengung tiba-tiba lewat di jalanan.
Pagi, siang, bahkan tengah malam aku akan terdiam dengan keringat mengucur saat mobil pembawa jenazah dan pembawa orang-orang sakit dengan segala sial dan keberuntungan beradu dalam laju menuju rumah sakit maupun rumah duka. Bunyi sirine akan membuatku seolah hampir mati saja.
Sesekali aku sering mempertanyakan kepada diri sendiri. Mengapa aku takut ambulans?
Apa karena dulu pernah menaikinya bersama lelaki tua berlumuran darah yang tak sengaja menolongku dari tabrakan beruntun? Atau karena kedatangan ayah ke rumah dengan ambulans putih, di mana tubuhnya ditutupi kain batik hingga masuk ke dalam rumah.
Semua momen itu terjadi bersamaan dengan suara sirine. Apa aku akan selamanya takut pada suara sirine? Aku harus kuat, aku harus bisa menahannya. Sebab aku kini bekerja di rumah sakit.
Meski keputusanku untuk mengatasi ketakutan terhadap suara ambulans menjadi semakin jauh lebih sulit setelah sebuah kejadian di malam yang kelam. Aku harus menguatkan diri sendiri demi mencari sesuap nasi.
Aku ingat sekali apa yang terjadi beberapa hari lalu. Hari itu sejujurnya aku semakin takut dengan suara sirine ambulans. Waktu itu, aku sedang bekerja lembur di rumah sakit, aku melihat satu ambulans putih berhenti di pintu masuk gawat darurat. Aku bingung, sebab kupikir ambulans itu tidak mengeluarkan sirine, sehingga aku tidak sempat menyadari kedatangan pasien di ambulans.
Tapi, ternyata. Begitu pasien yang terbungkus rapat oleh selimut putih, dengan bercak darah di beberapa titik dibawa masuk, aku bisa mendengar suara sirine yang masih terdengar dari ambulans. Dengan jantung berdegup kencang, aku mencoba mengabaikan suara sirine yang menyayat hati dan mencari keberanian untuk menghadapinya.
Aku tak bisa bernapas. Rasanya ada sesuatu yang menekan dada dan membuatku sulit bernapas. Pasien yang dibawa oleh tim medis itu tak terlihat bagian wajahnya. Dia langsung dibawa ke IGD, karena kutebak bisa saja pasien kecelakaan.
Sekelibat, aku melihat bayangan gelap menyelimuti sosok tersebut, menciptakan aura misterius yang semakin memperkuat ketakutan di malam itu.
Seakan tak sadar, kakiku bergerak mundur. Aku tak ingin melihatnya.
Deg.
Seseorang menyentuh pundakku, tiba-tiba saja, ruangan ini menjadi sepi dan semakin dingin karena semua orang berkumpul di IGD.
"Jaga malam ya, Ners?" Suara wanita di samping kiri membuat suasana semakin mencekam, rasanya aku ingin lari, tapi kedua kakiku seolah ditempa besi hingga tak bisa bergerak.
Saat itu, aku enggan menoleh karena seingatku tak ada perempuan yang berjaga malam saat ini selain diriku.
Dalam keheningan itu, tiba-tiba suara ambulans mulai melaju meninggalkan rumah sakit. Suara sirine-nya merayap perlahan meninggalkan jejak kegelapan di dalam hati. Sosok yang menyapaku juga menghilang begitu saja. Seiring jarak suara yang semakin jauh, rasa ketakutanku mulai mereda.
***
Hari ini, kembali aku merasakan suasana mencekam karena harus jaga malam. Aku benci jaga malam di rumah sakit. Aku takut pada suara ambulans yang memecah hening dan menciptakan gurat-gurat ketakutan pada helaan napasku.
"Ah!" Aku terkejut saat sirine samar-samar terdengar dari arah samping rumah sakit. Bunyi tempo panjang menjadi pertanda bahwa mobil ambulans sedang membawa jenazah. "Sialan, suara itu muncul lagi."
***
TAMAT
Gorontalo, 30 Januari 2024
Terima kasih sudah membaca dua cerpen misteri singkat ini. Semoga suka ya, Pengembara ~~
Komentar
Posting Komentar