Terbaru

Cerpen Tentang Persahabatan: Si Tukang Kritik

Cerpen Tentang Persahabatan: Si Tukang Kritik


Sedikit disclaimer ya ... cerpen tentang persahabatan ini cuma fiksi. Nama-nama yang ada dalam cerpen tentang persahabatan ini juga hanya nama-nama rekaan saja. Meskipun kisahnya diambil dari realitas di sekitar kita.

Selamat menikmati cerpen tentang persahabatan: Si Tukang Kritik.

***


Sejak kecil aku sudah punya teman dengan berbagai bentuk, sifat dan karakternya. Pada setiap tingkatan sekolah aku akan bertemu satu pribadi yang unik sekaligus menyebalkan, di antara berbagai tipe-tipe manusia.

Sebut saja, Wulan. Dia temanku saat sekolah dasar. Ayah dan ibunya adalah guru SMP. Wulan terkenal pandai dan suka mengatur. Dia seringkali menyombongkan status ayah dan ibunya sembari mengomentari berbagai hal soal teman sekelas.

Setiap hari Wulan akan mengomentari cara mengikat tali sepatu teman-temannya, cara makan, cara jalan, bahkan hingga gaya bicara teman-temannya.

Aku bahkan pernah bertengkar dengan Wulan saat dia mengejek, dengan pura-pura mengkritik cara makanku yang katanya aneh. Katanya aku seperti nenek-nenek jika sedang mengunyah. Karena saat itu masih kelas 6 SD, aku dengan sengaja memukul mulutnya dengan pisang goreng.

Setelah dia menangis, aku dan Wulan berakhir di ruangan kepala sekolah. Semoga saja Wulan sudah berubah.

***

Selanjutnya, kuperkenalkan sahabatku yang paling cantik, yang paling pandai ... sempurna sekali—konon.

Ya, itu sebelum negara api menyerang. Dia menjadi dekat denganku saat SMP dan lanjut sampai SMA, hmmm .... Sekarang, kami berdua masih berteman di sosmed walau sangat-sangat tidak akrab lagi.


Lucunya, dia mirip Wulan. Sayangnya, karena terjebak dalam pergaulan yang terlalu akrab dengan sosok ini, aku jadi tidak bisa asal-asalan memukul temanku itu dengan pisang goreng seperti Wulan.

Dulu kami telanjur bersahabat, sering bertukar cerita, hingga bertukar gosip. Maka, caraku saat ingin membalas kritikannya hanya dengan memutar balikkan perkataannya yang berbentuk protes dan kritikan itu. Lalu, akan terus kulakukan sampai dia merajuk.

Namanya Gina, ya dia cantik, tinggi-putih, mulutnya pun runcing kayak rautan pensilku. Sejak SMP, dia sering mengkritisi apapun yang dianggap tidak sesuai norma atau adat. Wah, ini baik dan bagus sekali. Benar-benar murid teladan. 

Hanya saja, dia bahkan bisa mengomentari hal-hal yang tidak sesuai dengan pendapat dan seleranya, semua yang tertangkap oleh matanya takkan berhasil menyelamatkan diri dari kritikan Gina. 

Terkadang omongannya berupa saran, karena disusul dengan pemberian solusi yang baik walau nyelekit. Tapi, dibandingkan sebuah saran, mulutnya lebih banyak memuat kritikan keras yang membuat orang-orang di sekolah gerah.


Aku sendiri pernah dikritiknya, karena rambutku yang panjang dianggap mengganggu baginya saat kami naik motor berdua, aku dikritik karena sering mengetuk-ngetuk meja kalau sedang berpikir, aku dikritik karena sering salah bicara bahkan dikritik karena bicaraku terlalu cepat. Ah, pokoknya banyak sekali ide dan opini baru dari si tukang kritik ini.

***

Suatu hari, saat kelas tiga SMA. Aku dan Gina yang tidak satu kelas lagi, janjian menemui teman kami yang kelasnya berbeda. Obrolan pun mengalir begitu saja, khas anak remaja yang belum selesai bahas A eh tiba-tiba bahas X.

"Bu Ifah itu kalau ngajar, selalu aja bawa anak. Padahal bawa anak ke sekolah tuh mengganggu murid belajar. Entah kapan dia bisa sadar?" gerutunya tiba-tiba.

Tanpa rasa berdosa Gina sedang membahas Bu Ifah, guru sosiologi kami yang sebentar lagi selesai mengajar di kelas itu. Di mana Bu Ifah dan kami hanya berjarak beberapa meter, karena kami berdiri di luar pintu kelas sembari menunggu teman kami.

"Kalau kamu nikah nanti, jangan kerja deh. Jadi ibu rumah tangga aja, biar anakmu nggak dibawa ke tempat kerja," sindirku menahan diri.

"Nggak dong, nggak bisa. Aku sekolah 'kan untuk mengejar impian menjadi perawat. Aku harus kerja dong, nanti anakku bisa kukasih ke mbak-mbak gitu, daripada dibawa ke tempat kerja," jawabnya santai.

Aku menggeleng, selain kritis dan tukang protes. Senjata lain Gina adalah tidak mau mengalah.

"Eh, Lala kalau fokus gitu, ternyata matanya juling ya?" ucapnya kini mengomentari teman yang sedari tadi kami tunggu. "Aku baru sadar loh. Lala tuh nggak cocok duduk di depan, harusnya dia duduk di tengah. Biar matanya nggak kelihatan gitu banget." Gina menambahkan.

"Jangan menghina!" tegurku melotot dengan nada pelan. Aku takut obrolan kami terdengar ke dalam kelas.

"Aku nggak menghina kok. Kadang, kita itu nggak bisa menyembunyikan kekurangan yang udah kita lihat, pasti pengin diomongin juga. Memberitahukan hal yang salah supaya jadi bener itu 'kan nggak apa-apa," jelasnya tak mau kalah.

"Ya memangnya kalau kamu ngomongin itu kayak gini ... sekarang ini ... matanya Lala bisa serta-merta jadi apa yang kamu mau?" Aku berbisik sambil menggemeretakkan gigi. "Itu 'kan ciptaan Allah!" Lanjutku.

"Nanti aku bilang ke Lala langsung deh!" gerutunya menghindari tatapanku.

Aku menatap mukanya yang menampakkan keseriusan penuh keangkuhan itu. Merasa selalu benar, ingin rasanya kucari pisang goreng dan mendaratkannya di wajah gadis sok pintar dan sok sempurna ini.

Cerpen lainnya: Sesuatu di Jendela
Mungkin Anda sukai: 109 Strange Things

Otakku segera mencari-cari hal yang bisa digunakan untuk membalas Gina. Kesabarannku sudah habis, entahlah sedang marah atau apa namanya, yang pasti aku tak tahan lagi.

"Kamu!" Aku menariknya menjauhi pintu, lalu menunjuknya dan memperhatikan Gina dari kepala hingga kaki secepat kilat.

"Apa?"

"Kamu ... nggak cocok pakai anting emas. Cocoknya pakai yang plastik," lanjutku berjalan pergi, tidak jadi menunggu teman kami.

"Kenapa?" Gina mengekoriku.

"Nggak apa-apa, aku cuma kasih masukan kok. Anting emas bikin kulit kamu kelihatan gelap, kalau anting plastik kayak punyaku pasti bikin kamu lebih berseri-seri," jelaskan membuat gerakan jari gemulai di bawah dagu.

"Kamu lagi sarkas? Atau lagi menghina kulit aku kusam?" Tiba-tiba kalimatnya terdengar seperti dialog drama.

"Oh, tentu tidak! Aku hanya sedang memberikan saran." Aku mengejeknya. Wah parah sekali, wajahnya memerah padam.

"Itu sih namanya kamu sedang mengkritik."

"Lah, kamu juga kan tukang kritik?"

"Susah ya ... punya teman yang ternyata nggak open minded."

"Hah? Maksud kamu apa? Yang nggak open minded itu kamu! Siapa sih yang apa-apanya harus sesuai kesukaan kamu, hah? Siapa?" Aku mengkonfrontasi Gina.

"Oh, jadi selama ini kamu tersinggung karena saran-saran dari aku ya? Makanya berani ngomong begini."

Aku tersedak emosi, batuk-batuk karena mendengar kalimat demi kalimat yang Gina ucapakan.

"Kamu kasih saran? Saran? Saran tawon kali ah!" Aku ngegas.

"Kamu harus belajar menerima pendapat orang lain loh, Zara. Jangan apa-apa dibawa baper." Dia melangkah hendak mendahuluiku.

"Barusan yang baper kamu loh! Kok jadi aku sih? Mau berantem nih?" Aku menyingsing lengan baju mengikuti langkahnya.

"Kalau kamu udah tenang, nanti kita ngobrol lagi." Gina menggelengkan kepalanya seolah aku sedang ditabuh rebana emosi. "Aku rasa, kamu beneran harus belajar cara menghargai pendapat orang, meskipun nggak sesuai sama kamu."

Astaga. Aku menganga, kaget luar biasa sekali saat mendapatkan tausiah dari Gina si tukang kritik. Cermin mana, cermin?

***

Sayangnya sejak hari itu, sampai beberapa tahun berlalu. Kami tidak lagi akrab, aku memilih menjauhi sahabatku itu karena kami berdua sama-sama keras kepala.

Apalagi, entah kenapa aku masih tidak tenang kalau mengingat Gina, dibuktikan dengan kami yang tidak pernah ngobrol tatap muka lagi setelah lulus SMA. Aku bahkan tetap tidak bisa tenang melihat Gina yang sering pasang aksi berkomentar di sosmed. 



Sampai hari ini, dia masih saja sibuk mengkritik postingan sosmed teman-teman sekolah. Aku yakin, banyak dari kami teman seangkatan yang sudah memblokirnya. Aku sengaja tidak memblokir Gina, dengan tujuan menunggu dia lelah mengkritik. Tapi, sepertinya jiwa Gina sudah ter-install pengaturan otomatis bahwa Gina adalah si tukang kritik. 

Aku terkadang sengaja update status dengan berbagai typo, share sesuatu yang tidak dia sukai, agar dia berkomentar panjang lebar. Lalu, saat dia muncul dengan nada mengkritik akan aku cuekin saja.

Akan tetapi, dari Gina aku belajar bahwa harus berhati-hati dengan omongan dan pendapat jika tidak ingin kehilangan sahabat, teman, rekan kerja hingga keluarga. Semua hati manusia harus dijaga, tidak semua hal harus diutarakan. Ada baiknya menyimpan hal-hal tertentu di dalam hati demi kebaikan bersama.

***

Ya, si tukang kritik, tetaplah si tukang kritik. Walau usia telah memakan sebagian kedewasaan, tetap saja orang seperti Gina akan terus menganggap hal-hal yang tidak sejalan wajib untuk diluruskan—hal-hal mengganjal harus ditiadakan. 

Orang seperti Gina, tanpa pikir panjang akan mengkritik tanpa memberi saran maupun solusi. Hanya untuk kepuasan bahwa si tukang kritik adalah orang-orang cerdas yang kritis dan mampu memberikan pendapat dan opininya kepada publik.

Namun, Gina lupa untuk menyadari bahwa dunia ini tidak hanya berputar di sekelilingnya saja. Gina lupa untuk mengkritisi jiwanya sendiri yang selalu kepo untuk urusan orang lain dan merasa selalu benar. Gina lupa bahwa saat mengkritisi sesuatu pasti akan ada pro dan kontra.



Untuk Gina, semoga kau belajar mengkritik diri sendiri. Minimal bisa menerima dengan lapang dada saat ada orang yang mengkritikmu balik dan mampu menerima ketika pendapatmu hanya minoritas. Pun harus berhati-hati dengan pendapat dan cara menyampaikan, sebab pisau yang paling berbahaya dalam persahabatan adalah lidah tak bertulang.

TAMAT 

Gorontalo, 11 Mei 2024

***

Terima kasih sudah membaca cerpen tentang persahabatan ini. Sayangnya cerpen kali ini bukan cerpen tentang persahabatan yang manis-manis gitu. Yep, terkadang kita harus berani cut off orang-orang toxic dari hidup kita.



Komentar

Populer

Mengenal Suku dan Masyarakat Adat Gorontalo Lebih Dekat

Review Drama Korea The Trauma Code: Heroes on Call (2025)

Short Story: The Guardian of the Sword of Light (English Version of Penjaga Pedang Cahaya)