Jiyeon menatap makam seseorang dalam sunyi. Siang semakin terik, emosinya terlampaui naik melewati ubun-ubun.
"Kau akan tetap di sini?" Suara lelaki muda yang membuat Jiyeon kesal, memecah keheningan. Jiyeon bungkam. "Aku akan pergi duluan, langit tidak membutuhkan duka dari orang seperti kita."
Jiyeon meliriknya tajam, lelaki itu segera melangkah pergi meninggalkan wanita bersetelan hitam itu.
Jiyeon berjongkok. "Pada akhirnya, sampai langit menutup jalan hidupmu. Kau tetap tidak memberitahukan padaku tentang pohon kehidupan dan aku harus terjebak di tempat ini, bersama cucumu."
Ucapannya benar-benar dingin, tatapan matanya mendadak lesu. Jiyeon tidak berselera memarahi makam nenek-nenek yang menjebaknya selama sepuluh tahun ini.
Jiyeon adalah Dewi Hutan, kedatangannya ke desa hanya untuk menemukan pohon kehidupan yang tidak sengaja ditebang seorang lelaki.
Lelaki itu turut serta membawa pulang tunas pohon yang muncul bersama pohon tebangannya. Istrinya sangat senang karena sang suami bukan hanya membawa potongan-potongan kayu besar. Tapi, membawa tunas pohon baru yang sempat dimimpikannya.
Sebagai Dewi Hutan yang bertugas menjaga hutan, Jiyeon menyamar sebagai anak remaja berusia 15 tahun dan tanpa sengaja masuk ke dalam keluarga si penebang kayu. Keluarga ini menjadi kaya raya begitu Jiyeon menjadi bagian dari keluarga.
Sampai pasangan suami istri itu meninggal secara berturut-turut, mereka tetap tidak memberitahukan kepada Ji Yeon di mana tunas itu berada.
Jiyeon menarik napasnya sesak. "Hah, sepuluh tahun yang sia-sia."
"Nuna!" Lelaki yang pergi tadi kembali lagi.
"Ada apa?" Jiyeon cuek.
"Ah, aku tidak ingin mengganggumu. Maafkan ucapanku barusan." Kepala menunduk tidak ikhlas.
"Ada apa hah?" Jiyeon melangkah pergi mendahului lelaki itu.
"Aku akan kembali ke rumah orang tuaku. Bagaimana denganmu? Apa kau mau ikut tinggal bersamaku?"
"Donghyuk-ah, aku bukan kakakmu."
"Tapi, nenek dan kakek sudah menganggapmu seperti cucu mereka."
"Apa ibumu yang minta kau bicara seperti ini padaku?" Jiyeon curiga. Donghyuk terdiam.
Langkah Jiyeon terhenti. Mendadak menyadari sesuatu, bukankah tunas pohon kehidupan pasti sedang tumbuh di suatu tempat? Karena semua pepohonan dan tumbuhan yang ada di kota ini baik-baik saja.
"Di rumah orang tuamu, apa ada pohon yang ditanam 10 tahun yang lalu?"
"Entahlah, aku kan tidak tinggal dengan mereka. Semenjak mereka punya banyak anak—"
"Bawa aku ke rumah orang tuamu!" sela Jiyeon bergegas. "Astaga, kenapa tidak terpikirkan olehku! Mereka pasti menyembunyikannya di sana. Pantas saja mereka selalu melarangku pergi ke rumah Donghyuk." Jiyeon kesal.
***
Jiyeon tertawa bodoh, di depan pohon asing yang tingginya sudah sekitar 5 meter. Jiyeon menyentuh batang pohon, matanya berair. Keduanya segera terkoneksi, Jiyeon bisa merasakan sengatan hangat dari kulit kayu dan perlahan mendengar nyanyian dedaunan yang berbisik di telinganya.
"Aku menemukanmu. Maaf, aku terlambat!" Jiyeon menahan senyumnya.
"Hah, aku benar-benar bodoh. Pantas saja aku tidak pernah bisa menemukanmu. Kau sudah tumbuh dengan baik di sini." Jiyeon bicara pada pohon dengan wajah yang sumringah.
"Jiyeon-ah! Kemarilah!" Ibu Donghyuk memanggil.
Jiyeon pun bertanya pada ibunya Donghyuk tentang pohon yang ada di belakang rumah mereka.
"Pohon itu dibawa ibuku sekitar 10 tahun yang lalu. Ayah dan ibu tidak tahu itu pohon apa, aku juga. Saat ayah meninggal dia sempat meminta ibuku untuk mengantar pohon itu pada pemiliknya. Itu sangat lucu bagiku," cerita ibunya Donghyuk.
"Aah, seperti itu ya."
"Wah, kau sudah dewasa ya... saat pertama aku melihatmu, kau hanya gadis remaja dengan pakaian sekolah. Oh ya, ibuku menanam sesuatu di sana. Katanya itu untukmu, jika kau mencarinya."
"Dia tahu aku sedang mencari pohon itu?" Jiyeon terkejut. "Si nenek tua itu!" Jiyeon hampir mengumpat.
***
Jiyeon meletakkan sekop mini usai menggali tanah di bawah pohon dan mendapati kotak yang terbuat dari kayu dan isinya dilapisi plastik putih.
~~~
Aku menanamnya di sini untukmu, Nona Dewi. Aku tahu kau akan datang. Begitu melihatmu datang ke rumah, aku bisa merasakan bahwa kau adalah Dewi Hutan. Meskipun suamiku merasa kau hanya bocah yang tersesat. Sebagai Dewi Hutan, kami sekeluarga memujamu, terima kasih sudah memberi kami pohon yang bagus untuk menopang kehidupan.
Maaf, karena membuatmu tetap tinggal di tempat kami. Apa kau percaya tentang cerita Bidadari dan Penebang Kayu? Aku percaya. Sebelum kau datang aku sudah memimpikanmu.
Sebelum aku mati, kau tidak boleh mengetahui letak tunas pohon. Itu adalah isi mimpiku. Karena jika kau pergi, keberuntungan tidak akan berpihak kepada keluargaku lagi.
Kuharap saat membaca ini, aku sudah tiada supaya aku bisa memastikan keluargaku hidup dengan nyaman. Maafkan aku yang tidak tahu malu ini.
~~
Setelah, membaca surat itu. Jiyeon malah memutuskan tidak akan meninggalkan keluarga Donghyuk. Dia akan menjaga pohon kehidupan dari tempat yang baru. Jiyeon bukanlah Dewi Hutan lagi, dia adalah Dewi penjaga keluarga Donghyuk.
Pohon kehidupan adalah pusat hidup sang Dewi Hutan. Jiyeon tidak bisa memindahkan pohon kehidupan yang sudah besar semaunya, ke sembarang tempat. Mau tidak mau dia harus terus menjaga pohon kehidupan melalui keluarga Donghyuk.
***
TAMAT
Gorontalo, 04 Oktober 2022
***
Dasar cerita cerpen ini terinspirasi dari dongeng Korea tentang Bidadari dan Penebang Kayu. Di Indonesia cerita soal ini ada berbagai versinya juga kan ya... Di Jawa ada Jaka Tarub dan 7 Bidadari, sedangkan di Gorontalo ada cerita Lahilote dan Bidadari Kahyangan.
Salam Kenal Semuanya.
Komentar
Posting Komentar