Saat kecil, Julita selalu bercita-cita
menjadi guru. Entah kenapa Julita sangat suka melihat guru-guru datang ke sekolah, dengan setelan keki dan sepatu hitam yang terlihat necis.
Julita punya guru favorit, Ibu Hawa namanya. Guru yang satu ini sangat lembut saat mengajar, cara mengajar matematika dan bahasanya sangat mudah dipahami. Ibu Hawa pun sebenarnya, terkadang sering marah, tapi caranya marah terlihat elegan. Julita sangat ingin menjadi seperti Ibu Hawa.
Dengan cita-cita mulia, Julita belajar dengan rajin. Juara sering bersambut, ayah dan ibunya pun bangga.
Memasuki SMP, ibu dan ayahnya mulai mematok standar untuk juara yang harus didapatkan Julita. Semasa sekolah dasar, Julita hanya beberapa kali menyabet juara dua. Orang tuanya ingin Julita mendapatkan rangking yang lebih tinggi lagi. Mereka mulai memaksa Julita mengikuti kursus-kursus, sehingga Julita tidak punya waktu untuk menikmati waktunya sendiri
Desakan demi desakan ini pun, pada akhirnya mulai menyisihkan mimpi-mimpi Julita. Saat kelas tiga SMP, ibunya bahkan melarang Julita mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Ada sebuah sekolah SMK terbaik di kotanya, yang sedang ditaksir oleh ibunya, sehingga sang ibu menginginkan Julita hanya fokus belajar dan belajar.
Perpecahan mulai terjadi di antara ibu dan anak, Julita yang beranjak remaja mulai merasa bahwa hidupnya tak bisa bebas karena dominasi sang ibu.
Dirinya pun sebenarnya tak ingin masuk SMK, SMK Kesehatan pula. Julita merasa bahwa dirinya tak mampu sekolah di sana.
Sementara menurut ibunya, Julita adalah anak yang genius. Dia ingin anaknya yang berbakat, bisa masuk sekolah di bidang yang akan menghasilkan banyak uang di masa depan nanti. Investasi lah, katanya. Juga agar tidak menyia-nyiakan bakat Julita yang memang pandai di pelajaran IPA.
Setelah pertengkaran dengan sang Ibu. Julita berhasil masuk SMA Negeri kesukaannya, dengan catatan saat kuliah nanti dia harus mengambil jurusan perawat atau bidan. Bahkan ibunya menekan Julita, soal nilai ujian yang tidak boleh anjlok.
Bulan demi bulan berlalu, Julita mulai membangkang pada ibunya, dirinya terlalu fokus menikmati masa remaja. Bermain, bercanda, belajar sekadarnya dan tidur di kelas. Anak yang punya cita-cita mulia itu, perlahan lupa akan apa yang pernah dicita-citakan.
Kelulusan tiba, lagi-lagi Julita menolak keinginan sang ibu untuk kuliah di jurusan perawat. Julita memaksa ingin ikut sahabat karibnya, yang kuliah mengambil jurusan hukum.
Karena perdebatan yang tak kunjung damai, ayah Julita menyarankan Julita untuk mengambil jurusan lain sebagai jalan tengah agar perdebatan yang menggangu nafsu makan itu segera berakhir.
Julita teringat akan cita-citanya sewaktu kecil. Lama berpikir, Julita memutuskan untuk mengambil jurusan PGSD saja. Toh itu cita-citanya sejak dulu, ibunya juga menginginkan sesuatu yang dikatakannya sebagai investasi.
Ibunya yang kesal tidak bisa berbuat apa-apa. Dia memaki Julita bahwa anaknya tidak akan bisa jadi guru. Ada ego yang besar pada diri Julita, yang membuatnya tidak mungkin mau mengalah, sementara guru adalah orang yang bijak. Ibunya sangar yakin, kalau Julita tidak cocok dan tidak bisa jadi guru. Dia yakin, suatu saat nanti Julita akan menyesali keputusannya.
Akan tetapi, Julita sudah jadi pemenang di atas panggung kehidupannya. Ucapan ibunya tak mempan sama sekali.
***
Begitu menjalani masa-masa kuliah, Julita menyadari bahwa kemungkinan dirinya menjadi guru semakin dekat. Suka duka kuliah dijalaninya dengan baik dan bijak, Julita harus bisa bersikap sedewasa mungkin. Ada ibu dan ayah yang harus dia pamerkan hasil dari keputusannya kini.
***
Februari, 2021
Anak kecil tampak tersenyum sopan dari dalam ponsel. Panggilan video membuat Julita tersenyum juga. Sejak tadi, Julita memberikan kelas online untuk muridnya satu per satu.
Semenjak Covid, sekolahnya termasuk salah satu yang menerapkan kelas online. Sebagai guru kelas 6, Julita terkadang mendatangi muridnya satu per satu. Ada tanggung jawab yang sedang dipikulnya. Tak terhalang Covid sama sekali.
Julita belum jadi PNS, karena baru mengajar selama 4 tahun, dan kesempatan belum berpihak kepadanya. Tapi, dia tidak pantang menyerah. Kini mengajar adalah bagian dari hidupnya yang dulu tak terlihat, tak peduli berapapun gajinya.
Ibunya yang sudah berumur, terkadang masih menyesali keputusannya membiarkan Julita memilih jalan hidupnya. Apalagi anaknya masih tetap berstatus sebagai guru honorer.
***
Julita meletakkan jiwa dan raganya untuk mengajar, memupuk bibit-bibit unggul pemuda-pemudi penerus Indonesia. Dia ingin, kelak murid-muridnya bisa menjadi cahaya yang membawa Indonesia pada tingkat tertinggi. Minimal, Julita mau para muridnya menjadi orang yang berbakti kepada orang tua dan negara.
Julita pada akhirnya menemukan sebuah kemungkinan yang dulu tak terlihat. Saat jalan sudah digariskan, secara alami manusia akan melewatinya melalu kisah-kisah penuh perjuangan.
Jika tidak berdebat dengan ibunya, Julita mungkin tidak akan pernah merasakan nikmatnya mimpi masa kecil yang terkabul. Tidak semua orang berakhir dengan mimpi masa kecilnya.
Kemungkinan-kemungkinan yang ditakutkan ibunya pasti akan terus membayang. Tapi, Julita ikhlas akan baktinya untuk anak-anak penerus bangsa. Ibu Hawa, sang guru favorit bahkan kini menjadi rekannya di ruang guru. Ibu Hawa masih guru matematika, masih setia mengajar, bukankah itu indah?
Julita masih muda, masih banyak jalan dan cara untuk menggapai kemungkinan lainnya yang tak terlihat.
Gorontalo, 08 Oktober 2022
Sehat selalu untuk Bapak dan Ibu Guru se-Indonesia.
Komentar
Posting Komentar