Cerpen Gratis: Tentang Winda

Cerpen Gratis: Tentang Winda


Halo, Pengembara!

Aku ingin membagikan salah satu cerpen lama yang sangat dekat di hati, berjudul “Tentang Winda”. 

Cerita ini kutulis dengan nuansa nostalgia, keluarga, dan sedikit sentuhan emosional yang mungkin bisa membuatmu ikut merasakan rindu akan rumah masa kecilmu sendiri.

Aku menulis cerita ini dengan inspirasi dari gambar yang kupakai dalam tantangan menulis di Opinia. 

Walaupun ini cerpen gratis yang dulu pernah kubagikan di media sosial lainnya, aku memutuskan untuk mengarsipkannya di blog supaya pembaca baru juga bisa menikmati cerita ini. Selain sebagai catatan perjalanan menulisku, artikel ini juga membantuku menjaga karya tetap hidup di mesin pencari Google dan di hati teman-teman yang mungkin membutuhkan bacaan ringan namun menyentuh.

Yuk, langsung saja baca cerpennya di bawah ini! Siapkan hati untuk ikut larut dalam perjalanan singkat Winda dan keluarganya.

_____________

Musim panen, 1999

Dinding bercat putih menjadi kekuningan karena sinaran mentari. Kakek Rahman sedang duduk di lantai tanah ruang tengah, sambil memperbaiki lampu petromax yang rusak.

Subuh tadi, sekeluarga hanya pakai lampu botol yang terbuat dari kaleng cat. Kakek Rahman masih sibuk memperbaiki petromax sambil mendengarkan radio pagi. Winda, cucu tertua yang berusia 13 tahun bersiap-siap untuk membantu Nenek Mina di sumur.

Sebelum berjalan keluar rumah dengan seloyang kecil pakaian kotor. Winda mendekati kakeknya, yang perhatiannya tidak lagi di petromax.

"Kakek lagi ngapain?" tanya Winda berjongkok.

Ternyata kakek Rahman sedang coba mengganti saluran radio yang sedari tadi hanya terdengar suara keresek-keresek saja.

"Tidak ada siaran!" gerutu kakek Rahman.

"Mana, Winda bantuin!"

Winda kemudian mengambil radio kecil itu dan mulai memainkan tombol mencari frekuensi radio.

Sebuah suara wanita akhirnya terdengar; samar.

"Oh, yang itu!" seru Kakek Rahman menghentikan Winda.

Winda pun meletakkan kembali radio ke lantai tanah. Kakek Rahman tersenyum singkat saat mendengar penyiar radio yang sedang mewartakan perihal panen kali ini yang terhitung sukses.

Winda beralih, dia pergi menuju sumur dan mulai memompa air dengan sekuat tenaga.


Nenek Mina, datang entah dari mana, dengan segenggam bunga-bunga yang dipetiknya.

"Bunganya buat apa, Nek?" Winda bertanya pada Nenek yang bergegas hendak masuk ke rumah.

"Buat ditaruh di vas kamar depan."

Winda tersenyum melihat perilaku Neneknya.

"Kalau air sudah penuh, bilang ke nenek ya!" Lanjut Nenek Mina. Winda mengangguk.


Setiap hari, Nenek Mina selalu mengganti bunga di kamar depan. Winda tidak pernah tanya alasannya apa, baginya mungkin Nenek Mina hanya suka dengan bunga. Pun dengan kakek Rahman yang sering mendengarkan radio setiap pagi. Winda hanya mengira itu kebiasaannya saja.


***


Tonton video Tentang Winda: Di Sini

Baca juga: Dear Diary | Mencurahkan Hati pada Kertas


Pemakaman, 2011

Kini, Winda yang sudah berusia 25 tahun terdiam di tempat ini. Matanya kosong, menatap radio usang yang tersimpan di nakas kamar depan, rumah tua nenek dan kakeknya.

Selama beberapa tahun tidak pulang ke kampung, Winda menyadari bahwa ada kebiasaan yang tidak berubah dari nenek dan kakeknya. Meksipun zaman telah berubah, Kakek Rahman masih terbiasa mendengarkan radio. Kamar depan pun masih dipenuhi bunga-bunga. Walau hanya ada bunga yang layu sekarang, karena keduanya telah berpulang.

Winda pun baru tahu alasan kakeknya sering mendengar berita di radio pagi. Sewaktu Winda belum lahir, pernah ada anak perempuan bernama Winda di rumah ini. Dia adalah anak terakhir dari kakek Rahman dan Nenek Mina. Tante dari Winda ini hilang saat pergi ke sekolah. Tak pernah ada yang tahu akhir bagi anak yang saat itu sudah berusia 14 tahun. 


Kamar depan ini adalah kamarnya, 'Winda si tante' suka sekali dengan bunga. Sejak kecil dia sering memasukkan bunga ke kamar. Sehingga Nenek Mina mendekorasi kamar putrinya dengan bunga-bunga, bahkan saat putrinya tak pernah kembali dia masih melakukan hal yang sama.

Anak tertua Kakek Rahman dan Nenek Mina, merupakan ayah Winda. Ayahnya Winda ingin kedua orangtuanya tetap hidup dalam kebahagiaan, jadi anak perempuan pertamanya pun diberi nama sama dengan adiknya yang hilang.

Saat Winda berusia 7 tahun ayahnya meninggal dalam kecelakaan kerja. Sudah jatuh tertimpa tangga, ibu Winda yang saat itu sedang hamil anak ketiga malah memilih pergi dan meninggalkan Winda bersama adik perempuannya. Kakek Rahman dan Nenek Mina-lah yang merawat kedua anak itu.

Kakek Rahman pernah memasukkan berita akan hilangnya sang anak ke radio, dia tidak pernah mendapatkan kabar baik. Meskipun setiap hari mendengar dan memperhatikan setiap berita orang hilang di radio.


***


Kini, radio usang dan bunga layu di kamar menjadi saksi betapa besar rasa cinta orang tua untuk anaknya. Sayangnya, terlambat bagi sosok 'Winda' lainnya untuk datang bertemu kedua orang tua.

Dia berdiri tepat di sebelah Winda. Wanita berusia pertengahan 40-an itu, sedang menangis di kamar yang diakuinya sebagai kamarnya.

Kedua orang bernama Winda ini saling berpelukan. Ah, lebih tepatnya seseorang yang pernah bernama Winda itu sedang memeluk Winda. Tangisnya pecah, dinding yang baru saja dicat putih oleh Winda sebelum kakek dan neneknya pergi perlahan tampak kusam. Seolah tengah menangisi anak yang kembali itu.


30 tahun, Winda si Tante yang kini bernama Wita kembali ke rumahnya.


Sayangnya, semua sudah terlambat. Dia datang di saat-saat kakek Rahman mengembuskan napas terakhir.

Nenek Mina meninggal lebih dulu karena sakit, tiga hari kemudian Kakak Rahman menyusul. Penantian mereka pada putri yang hilang tidak pernah padam. Sungguh berbeda dengan ibu Winda yang baru kelihatan saat Winda memintanya datang ke pernikahan Winda setahun lalu.


TAMAT

Gorontalo, 02 Oktober 2022

_____________


Oke, itulah kisah “Tentang Winda”, sebuah cerpen yang bagi aku pribadi cukup punya nilai emosional. Cerita ini bukan hanya tentang keluarga, tapi juga tentang penantian panjang, rasa bersalah, dan kesempatan yang datang ketika semua sudah terlambat.

Aku percaya, setiap pembaca akan membawa kesan yang berbeda setelah membaca cerita ini. Mungkin ada yang teringat rumah lama, ada yang teringat suara radio tua di rumah kakek-nenek, atau bahkan ada yang teringat tentang seseorang yang pernah hilang dari hidupnya.

Dengan menuliskan dan mengarsipkan cerita ini di blog, aku ingin kenangan Winda dan keluarganya tetap hidup. Cerita ini menjadi pengingat bahwa waktu tidak bisa diulang, dan kadang kita baru menyadari arti keluarga ketika mereka sudah pergi.


Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Kalau Pengembara suka dengan cerpen seperti ini, jangan ragu untuk menjelajahi arsip cerpen gratis lain di blogku ya. 

Siapa tahu nih, kamu bakal menemukan cerita yang menyentuh hatimu dan membuatmu ingin menulis kisahmu sendiri.






Komentar

Popular