Terbaru

Cerpen Drama: Semoga Ibu Kuat

Cerpen Drama: Semoga Ibu Kuat



Hai, Pengembara....

Ada cerita yang lahir dari sebuah event sederhana yaitu challenge myself dengan tema writing prompts with picture

Cerpen ini aku tulis pertama kali di Opinia (Maret 2025), tepat sebelum platform itu tutup. Kali ini, aku ingin membawanya ke blog pribadi agar bisa tetap hidup dan dibaca siapa saja.


Selamat menikmati kisahnya. Selamat membaca, terima kasih sudah mampir.

***


[Cerpen Drama]—Langit mendung saat jenazah ayah diturunkan ke liang lahad. Hujan rintik-rintik mengguyur pelan, seolah ikut berduka bersama kami semua. 

Aku berdiri di bawah payung yang digenggam paman, sembari menggenggam erat tangan adikku, Hana, yang sedari tadi terus terisak. 

Aku sendiri sudah tidak bisa membendung air mata sejak tadi. Ayah, sosok yang selalu tersenyum dan membangunkan untuk shalat Subuh, menemaniku di sofa sambil belajar, kini terbujur kaku di tempat itu.

Akan tetapi, yang lebih membuatku bingung adalah ibu. Ibu berdiri di sisi makam, wajahnya tenang, tanpa air mata, ya matanya agak sedikit bengkak, mulutnya juga terkatup rapat. Hanya sesekali tangannya mengelus perut yang membesar, tempat adik bungsuku berada.

Aku ingin bertanya, ingin memastikan—benarkah ibu tidak sedih? Benarkah ibu tidak menangis? Benarkah ibu baik-baik saja?

***  


Sejak kabar kecelakaan itu datang semalam, rumah kami penuh dengan orang-orang yang datang melayat. Entah itu tetangga, keluarga, sampai teman-teman ayah sesama sopir bus. Mereka menghibur kami, terutama ibu.  

"Yang sabar ya, Bu Rahma."  
"Anak-anak butuh Ibunya, lebih kuat ya."  
"Semoga almarhum husnul khatimah."  


Mendengar semua itu, ibu hanya mengangguk, tersenyum tipis. Bahkan saat jenazah ayah tiba di rumah tadi pagi, aku melihat ibu hanya menutup mulutnya rapat-rapat, sementara aku dan Hana langsung menangis, tak bisa menahan diri. 

Aku benar-benar tidak bisa mengerti. Bagaimana bisa ibu begitu tegar?  


Baca juga: Pohon Kehidupan
Cerpen drama lainnya: Kemungkinan yang Tak Terlihat


Setelah pemakaman bakda zuhur, malam harinya beberapa orang sudah pergi. Saat nenek dan kakek beristirahat di kamar tamu, aku mencari ibu.

Aku menemukan ibu sedang duduk di sudut kamar, menatap foto ayah yang tergantung di dinding, sembari memeluk sarung yang biasa dipakai ayah saat sholat. 

Aku masuk pelan-pelan, duduk di sampingnya.

"Ibu .…" suaraku lirih. "Ibu nggak apa-apa?"  

Ibu menoleh, tersenyum lemah. "Nggak apa-apa, Sayang. Semoga saja, nggak apa-apa."

Aku mengerutkan kening. "Tapi… Ibu kenapa nggak nangis, kan ibu kehilangan Ayah. Bukannya wajar ya kalau Ibu menangis?"  

Ibu menghela napas panjang. "Menangis tidak akan mengembalikan ayahmu, Sayang. Ibu memang sedih, sangat sedih. Tapi ibu juga harus berpikir… kalau ibu larut dalam kesedihan, bagaimana dengan kalian?" Ibu mengusap pipiku yang kembali basah.


Aku terdiam. Di usiaku yang baru empat belas tahun, aku masih sulit memahami perasaan orang dewasa. Yang aku tahu, kalau seseorang sedih, maka dia akan menangis. Tapi ibu… sepertinya memilih menahan air mata demi aku dan Hana.  

"Ibu berdoa agar kita semua diberi kekuatan," lanjutnya. "Ibu ingin ayahmu tenang di sana. Kalau ibu menangis, kalau ibu tidak mengurus kalian dengan baik, Ayah pasti sedih melihat kita."  

Aku menggigit bibir. "Tapi, ibu boleh menangis kok. Tidak apa-apa." 

Ibu tersenyum, lalu meraih kepalaku dan menyandarkan di bahunya. Ibu mengambil tangan ini dan meletakkannya di perut yang semakin besar itu.

"Iya, Sayang. Ibu cuma butuh waktu untuk mencerna."

"Ibu ...." Aku memanggil penuh kesedihan. "Aku kangen ayah."

"Kita bisa melewati ini bersama ya. Karena Allah tidak akan membebani seseorang di luar kemampuannya. Kita harus percaya bahwa ada kemudahan sesudah ini."  

Air mataku mengalir. Kupeluk ibu erat-erat, dan untuk pertama kalinya aku merasa, mungkin saja … ibu sedang menangis dalam hatinya, bahkan lebih banyak tangisan dari yang bisa kulihat.  

***

Malam semakin larut, dengan telapak tangan terangkat, doaku hanya satu. "Ya Allah, semoga Ibu kuat."

Tamat

Gorontalo, 9 Maret 2025

***

Catatan Kak Bi:

Cerpen ini adalah salah satu cara kecil untuk merekam perasaan kehilangan, terutama dari sudut pandang seorang anak. Terkadang, kekuatan seorang ibu tidak terlihat dari tangisannya, tapi dari keberaniannya menahan air mata demi anak-anaknya.

Kalau Pengembara pernah mengalami hal serupa atau punya kisah tentang orang tua yang tabah, jangan sungkan berbagi di kolom komentar ya.

Komentar

Populer

Mengenal Suku dan Masyarakat Adat Gorontalo Lebih Dekat

Review Drama Korea The Trauma Code: Heroes on Call (2025)

Review Drama Korea Love Scout (2025): Romantisme di Tengah Kerasnya Dunia Kerja