Terbaru

Cerpen Thriller 18+: Red Room

Cerpen Thriller 18+: Red Room


Cerpen Thriller ini aku kasih label 18+, sebab mengandung kekerasan. Mohon kebijakannya saat membaca ya~~


***


[Cerpen Thriller]—Aku merenung pada tembok merah di hadapan ini. Ada sebuah pintu tersembunyi di baliknya, hanya dengan menekan persegi berwarna putih hitam maka pertemuan dengan kehidupan terlarang sudah di depan mata.

Di dalamnya ada sesuatu yang mengerikan. Ini adalah tempat di mana orang-orang membayar untuk menonton penyiksaan atau pembunuhan secara langsung. Aku tahu ini karena aku menjadi salah satu dari mereka.

Sedari tadi, aku sedang duduk di dalam ruangan kecil merah yang terletak di belakang ruangan utama. Ada kamera di dinding yang memungkinkan para penonton dari ruangan khusus untuk melihat apa yang terjadi di ruangan utama. Ada juga seorang pria yang duduk di sudut ruangan, mengawasi semuanya.

***

Hari ini, aku diberi kertas berisi wajah seseorang. Dia dibayar mahal untuk terluka atau bahkan mati, begitu pun aku. Targetku kali ini adalah seorang wanita muda yang dipilihkan langsung oleh pemilik red room. Dia seorang mahasiswi yang tidak bersalah, kemiskinan dan ketamakan menjerumuskannya ke tempat ini. Aku tahu, dia tidak akan bisa bertahan lama.

Sekali lagi, aku merenung pada tembok merah. Haruskah aku tidak pergi hari ini? Haruskah kuminta orang lain untuk menggantikan pekerjaan hari ini? Aku menggeleng cepat, aku butuh uang dan berusaha untuk tidak memikirkan tentang apa yang akan aku lakukan. Aku mencoba untuk tidak memikirkan tentang bagaimana aku akan berakhir dengan membunuhnya nanti.


Cerpen lainnya: Proyeksi Game

[Cerpen Thriller]—Tiba-tiba, pintu di depanku terbuka, dan seorang pria muda masuk. 

Dia adalah pemilik red room, dan dia memberitahuku bahwa penonton sedang menunggu. Aku adalah kesayangan red room, kata mereka aku seperti setan saat menyiksa para korban.

Aku bangkit dari kursi dan berjalan menuju ruangan utama. Di sana, layar besar yang memperlihatkan wajah para penonton terlihat mengintimidasiku, mereka menunggu dengan gelisah. Mereka ingin melihat sesuatu yang mengerikan, dan aku akan memberikannya kepada mereka.

Saat melangkah ke atas panggung, wanita muda itu sudah terikat di kursi. Dia menangis dan bergetar ketakutan. Aku tahu bahwa dia sudah merasakan rasa sakit yang belum pernah dia rasakan sebelum dibawa ke sini.

Dengan dingin dan tenang, aku menghampirinya. "Untuk berapa persen rasa sakit kau dibayar?"

Wanita dengan keringat bercucuran itu menjawab dengan pelan. "Sembilan puluh persen."

Hah, aku mengembuskan napas. Merasa kasihan, dia pasti ditipu kontrak. Perlahan, aku berjalan mengambil pisau yang sudah disediakan di sana dan melangkah ke arahnya. Wanita itu menjerit ketakutan saat aku mengiris lengan kirinya dengan pisau.

Para penonton bersorak, tambah lagi, terus begitu. Aku menyayat tangan kanannya sepanjang pundak sampai punggung telapak tangannya. 

***

[Cerpen Thriller]—Para penonton kembali bersorak ketika darah mulai mengalir. Aku tidak peduli dengan mereka atau dengan wanita itu. Aku hanya ingin segera selesai dengan pekerjaan ini.

Aku berjalan kembali ke arah meja, mengangkat dua alat tajam ke arah kamera untuk dipamerkan kepada penonton. Mereka bisa memilih, alat mana yang akan kugunakan untuk menyelesaikan 90 persen rasa sakit yang diminta wanita itu.

Sebuah pisau panjang berbentuk jarum tebal dipilih dengan sorakan terbanyak. Aku berjalan dan menatap wanita itu. Pisau kini menembus bagian bawah tulang selangka kanannya menuju bagian belakang tubuh.

Jeritan dan tangisannya membuat orang gila di ruangan itu semakin menggila, mereka mengatakan akan membayarku lebih jika aku menusuk bola mata wanita ini. Aku menatap wanita yang tengah menggeleng.

"Jangan ... dengarkan mereka. Ak-kuu menandatangani pengecualian ... untuk wajah." Ucapannya terbata-bata.

Kuangkat kaki kirinya, berkali-kali kutancapkan pisau di bagian belakang tulang keringnya. Sebisa mungkin menghindari urat saraf.

"Jika kau ingin ini segera berakhir, kau harus pingsan," bisikku ke telinganya.

Wanita itu masih berteriak, karena rasa sakit di tubuhnya. Aku menamparnya, beberapa kali. Dia pun pingsan.

Setelah selesai, aku menatap wajah-wajah manusia gila di layar dan kembali ke ruangan kecil di belakang panggung ruang utama. Aku mencoba untuk tidak memikirkan apa yang baru saja terjadi, meskipun aku tidak bisa menghilangkan bayangan wanita itu. Hari ini, aku tidak bisa memberinya 90 persen. Aku sudah lelah dengan pekerjaan seperti ini.

Saat pemilik red room sedang lengah karena memberikan pelayanan terbaik untuk para tamu dan penontonnya. Aku menelepon detektif dan mengaku terlibat beberapa pembunuhan. Aku menyerahkan diri.

Beberapa belas menit setelah menelepon detektif, seorang pria masuk ke ruanganku, membawakan segelas vodka dan buah pir. Aku menolaknya, aku ingin membuang waktu mereka di tempat ini. Aku meminta air hangat dan air dingin secara bersamaan. Pria itu pergi.

Tiba-tiba, pintu terbuka lagi, dan seorang pria masuk. Dia adalah detektif yang kutelepon tadi. Detektif yang telah lama memburuku selama beberapa bulan terakhir. Aku tidak akan menghindarinya lagi.

Red room digrebek, bersama beberapa tamu dan penonton yang tidak sempat kabur, aku, algojo lain dan pemilik red room tertangkap basah. 

Detektif itu memasukkanku ke dalam penjara, dan aku pun dinyatakan bersalah atas semua pembunuhan yang pernah dilakukan di red room. Pemilik red room, didakwa karena penghasutan tindakan kriminal, kepemilikan usaha ilegal dan kejahatan-kejahatan lainnya.

Aku dijatuhi hukuman seumur hidup, sebenarnya hukuman mati yang lebih dulu didakwakan. Tetapi, karena aku yang membongkar sindikat red room. Maka aku mendapatkan sesuatu yang layak untuk diriku sendiri.

Jika bukan karena uang dan kemiskinan, aku dan wanita-wanita atau para pria yang terjebak di red room sebagai algojo maupun korban takkan pernah bertindak sejauh ini.

Red room terus menjadi mimpi burukku, semua dosa-dosa itu membayang setiap malam. Tangisan manusia di dalam red room seolah memenuhi perut dan kepala ini.

Aku mau gila rasanya, penyesalan ini menjadi penyakit yang tak ingin kuobati. Red room di tempatku memang telah runtuh, tapi selama kemiskinan, ketamakan, kegilaan dan ego merajai hati dan pikiran manusia. Pintu red room lain bisa saja terbuka.

TAMAT 

Gorontalo, April 2023

***

Baca juga cerpen sebelumnya: Cerpen Eksperimental Terbaru: Emas Liquid

Komentar

Populer

Mengenal Suku dan Masyarakat Adat Gorontalo Lebih Dekat

Cerpen Horor Spesial Nadia Omara: Diamond Play Button

Review Drama Korea The Trauma Code: Heroes on Call (2025)

Short Story: The Guardian of the Sword of Light (English Version of Penjaga Pedang Cahaya)