Rumah Kuning | Cerpen Nurwahidah Bi

Rumah Kuning | Cerpen Nurwahidah Bi


[Cerpen Nurwahidah Bi] Maya terbangun dari tempat tidurnya, duduk sejenak sambil menggosok-gosok mata yang masih mengantuk. Kemudian beralih menatap ke luar jendela kamar kecilnya ini. 

"Lah, aku lupa tutup jendela." Maya beranjak dari ranjang menuju jendela kamar, dilihatnya pemandangan pinggiran kota yang mulai ramai dengan kendaraan dan orang-orang yang bergegas menuju tempat kerja atau sekolah.

Gadis ramah itu tersenyum simpul, matanya yang masih mengantuk mendadak terbuka lebar karena suasana pagi yang cerah. Maya tinggal di rumah susun bercat kuning di ujung jalan bersama ibunya. Mereka sudah tinggal selama 5 tahun dan merasa cukup nyaman dengan keadaannya. Walaupun ruangan di rumah susun ini relatif kecil, Maya dan ibunya sudah bisa beradaptasi dengan keadaan.

Sesuai dengan namanya, rumah susun ini memiliki dinding yang dicat dengan warna kuning cerah, kabarnya pemilik dan pengelola bangunan sangat menyukai warna kuning. Selain itu, ada banyak fasilitas umum yang disediakan oleh pihak pengelola, seperti area parkir, taman bermain, dan tempat olahraga yang bernuansa kuning.

Maya beralih dari jendela untuk bersiap-siap pergi ke kampus, kalau tidak mengingat kelas pagi mungkin Maya masih betah di tempat tidur. Dilewatinya cermin besar yang ada di ruang tengah, Maya terhenti sejenak dan bercermin sambil membersihkan matanya.

"Ngaca terus!" Ibu menegur, sambil membawa nasi goreng ke atas meja.

"Hmm, nasi goreng terasi?" Maya mengekori ibu sambil sesekali menyentuh matanya.

"Cuci muka dulu sana, itu matamu kayak tempat sampah. Kotor banget!" perintah ibu sedikit tertawa.

"Aku makan dulu deh. Kerupuk mana, kerupuk?"

"Ambil sendiri." Ibu memukul punggung Maya. Ah, selalu begitu, bentuk kasih sayang ibu pada Maya memang agak kasar.

Setelah melakukan kegiatan paginya, Maya berjalan cepat ke luar unit menuju tangga. Dia bahkan tidak mendengarkan lagi ucapan ibu karena sudah buru-buru. Di sepanjang jalan, Maya bertemu dengan beberapa tetangga yang juga sedang berada di koridor.

Sesampainya di lantai dasar, Maya bergegas keluar dari rumah susun. Dia terlambat, sehingga memilih untuk berlari alih-alih berjalan kaki menuju kampus yang jaraknya memang tidak terlalu jauh dari rumah susunnya. 

Saat melewati taman bermain yang ada di depan rumah susun, Maya melihat sekelompok anak-anak sedang bermain layang-layang, Maya pun terhenti karena tali sepatunya lepas.

"Kak Maya, mau ikutan nggak?" teriak salah satu anak.

Maya tersenyum dan menggelengkan kepala. "Maaf, aku harus ke kampus nih. Nanti lain waktu aja ya!"


***


Siapa yang menyangka Maya akan menemukan rumah dekat kampus, jauh sebelum dia lulus SMA. Sebuah keberuntungan yang awalnya sempat dibenci oleh Maya. Setelah ayahnya meninggal, ibu dan Maya pindah ke lingkungan ini. Awalnya Maya protes tentang tempat barunya yang terasa tidak nyaman. Maya, bahkan harus naik angkot dan pergi masih pagi-pagi buta agar tidak terlambat ke sekolah.

Walaupun sempit dan terbatas, pada akhirnya Maya merasa bersyukur masih memiliki tempat tinggal yang layak dan nyaman, juga dekat dengan kampusnya.

Berlari kurang dari 10 menit, Maya pun sampai di kampus. Suasana di kampus ramai seperti biasanya. Maya memasuki ruangan kuliah dan menemukan tidak ada orang di dalamnya. Maya kebingungan, bukankah dia ada kelas Pak Santos pagi ini? 

Maya mengambil ponsel yang di-charge semalaman dan memang baru dinyalakan lagi saat ini. Maya diberondong dengan notifikasi WhatsApp grup.


[Intan: May, lu di mana? Tidur?]

[Intan: May, kelas Pak Santos diundur lusa. Besok nggak ada kelas, Bu Mira juga nggak jadi ngajar.]

[Jajay: May, lu tidur apa mati sih? Hape tuh dinyalain.]

[Riko: Maya! Maya, besok nggak masuk ya kata Intan?]

[Intan: Lu di grup, bego. Iyalah kata gue.]

[Joni: Gue udah telepon Maya, nomornya nggak aktif.]

[Riko: Iya, nggak aktif. Jangan-jangan, hapenya diumpetin setan kuning di rumahnya.]

[Jajay: Hush, kalau ngomong jangan suka bener dah. Sorry, May.]


Maya menatap nyalang ke arah ruangan kelas, merasa stres melihat obrolan di grup semalam. Beberapa mahasiswa lewat di sebelahnya, mereka memperhatikan Maya.

"Kak Maya yang dari rumah kuning ya?" tanya salah seorang.

"Apa? Hmm? Iya, kenapa?"

"Kelas kakak nggak masuk hari ini, Pak Santos juga nggak jadi ngajar kelas kita kok. Kita-kita dititipkan info sama Kak Intan, minta dikasih tahu ke kakak kalau hari ini nggak jadi masuk," jelas perempuan berbaju sage.

"Ooh, kenapa?"

"Kurang tahu sih, tapi kayaknya istrinya mau melahirkan jadi dia nggak jadi masuk," timpal yang lainnya.

"Thank you ya...." Maya menatap kembali ponselnya, sambil berjalan melawan arah gadis-gadis barusan.


[Gaes, kelas Pak Santos beneran nggak jadi nih? Gue udah depan kelas, gue di kampus nih.]


Tidak ada balasan, pesan dalam grup angkatannya sepi. Maya pun berjalan lunglai menuju bangku dekat taman kampus.


Ting. Tiba-tiba satu notifikasi berbunyi.


[Riko: Pulang, May. Pak Santos lagi melahirkan.]

[Intan: Istrinya yang melahirkan, Ko.]

[Jajay: Iya, kenapa jadi Pak Santos yang melahirkan sih?]

[Jajay: Lu ke sini aja deh May, kita-kita lagi di kosan Mia.]


Maya mengernyitkan kening, kenapa pagi-pagi sudah di kosan orang sih mereka?


[Maya: Gue mau pulang aja, ini beneran kan kalau kelas nggak jadi? Kelas Bu Mira jam dua juga nggak jadi dong?]

[Riko: Kan Bu Mira melahirkan.]

[Joni: Yang melahirkan Pak Santos.]

[Jajay: Istrinya yang melahirkan, Joni.]

[Riko: Loh, istrinya Pak Santos bukan Bu Mira?]

[Intan: Sejak kapan Pak Santos jadi suaminya Bu Mira?]

[Riko: Wah, kutukan rumah kuning nih.]

[Maya: Kenapa jadi bawa-bawa rumah gue hah?]

[Riko: Ampun, ada Maya.]

[Jajay: Ke sini aja deh, May.]


Maya memilih tidak membalas lagi, jika dibalas terus lama-lama akan semakin absurd.

Maya pun pulang kembali ke rumah susun bercat kuning yang selalu jadi bahan bercandaan teman-temannya. Rumahnya mulai menjadi candaan saat Riko memulai cerita tentang cita-citanya untuk pergi ke gedung putih. Entah bagaimana, mereka malah mencibir Maya yang punya rumah dan properti pribadi berwarna kuning. Maya yang tidak terima candaan memilih memuji-muji rumah susun tempatnya tinggal. Tapi, dia kalah debat dan merajuk. Bukannya didiamkan, Maya malah semakin sering digodai oleh mereka.

"Gimana kuliahnya? Kok cepat pulang?" tanya ibu sambil memperhatikan jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan lewat sedikit.

"Kelas diundur lusa, kasihan nasi gorengku," jawab Maya sambil melepas tas dan sepatunya.

Ibu tersenyum. "Kasihan kenapa?" Kemudian berjalan mendekati Maya.

"Aku kan tadi lari, karena kupikir udah telat ngampus. Ternyata aku nggak baca chat di grup semalam. Makanya, kasihan nasi goreng terasiku."

"Ya udah, kenapa kamu nggak ngumpul aja sama teman? Daripada di rumah bengong doang." Ibu menyarankan.

"Malas, ah. Palingan juga aku diledekin mulu soal rumah ini. Soal rusun ini."

"Itu lagi? Bahan bercandaannya tidak kreatif." Ibu manyun.

"Nah, iya."

"Kenapa kelasnya nggak jadi?" tanya ibu duduk di sebelah Maya.

"Anu, Pak Santos melahirkan. Eh, istrinya yang melahirkan." Maya tertawa kecil.

"Minum air dulu sana, biar agak fokus." Ibu ikut tertawa.


***


[Cerpen Nurwahidah Bi] Malam hari tiba, mereka berdua duduk di ruang tengah sambil mengobrol tentang kegiatan sehari-hari, termasuk tentang tetangga-tetangga mereka di rumah susun bercat kuning.

"Kamu tahu, nggak? Tetangga sebelah tadi lagi renovasi rumahnya," kata ibu.

Maya mengangguk. "Ya, aku juga lihat tadi. Mereka selalu rajin rawat rumah, tapi nggak bisa ganti warna catnya." Sindiran Maya membuat ibu tertawa.

Entah apa yang ada di pikiran pemilik rumah susun, dia sengaja menyewakan rumah-rumah di tempatnya dengan harga murah dengan syarat jangan pernah mengganti warna cat jadi warna lain. Kalau perlu ditambah lagi cat kuningnya. Hal itu membuat rumah susun di pinggir jalan ini sangat mencolok mata. Apa jangan-jangan penglaris rumah ini adalah warna kuning?


Di layar tv, ada acara tentang program perbaikan rumah. Maya mengirimkan foto tv yang sedang menayangkan acara itu ke grup chat kelasnya. Dengan caption, rumahku ikut ini aja ya biar tidak warna kuning.

Kirimannya dibalas oleh teman-teman dengan respons setuju. Mereka kembali mengaku dan mengadu sakit mata setiap melewati rumah susun Maya.

"Ibu, cara kirim permintaan biar rumah kita direnovasi kayak di tv tuh, gimana ya?" canda Maya tertawa.

"Mana ibu tahu. Rumah siapa yang mau direnovasi?"

"Rumah ini, mau ganti cat. Aku mau ganti warna biru."

Ibu terdiam, "Kamu masih nggak ikhlas kita tinggal di sini ya?" tanyanya tiba-tiba.

"Eh, bukan gitu. Aku bercanda doang."

"Padahal rumah ini banyak keuntungannya, kamu tidak perlu bayar taksi atau ojek untuk ke kampus. Rumah ini juga sewanya murah." Ibu tidak bertenaga.

"Iya, aku tahu." Maya menunduk.

Ibu masuk ke kamarnya, dan merenung. Lama-lama curhatan Maya tentang rumah ini di mata teman-temannya entah kenapa malah terasa menyedihkan di hati ibu.

Maya masuk ke kamar dan memeluk ibu. "Aku memang nggak suka sama rumah ini, karena ibu tahu kan aku tuh nggak suka warna kuning. Tapi, seperti kata ibu, rumah ini tuh banyak keuntungannya. Makanya aku udah ikhlas tinggal di sini kok."

"Tapi, teman-temanmu?"

"Mereka bercanda doang, awalnya aku tersinggung sih. Tapi, nggak ada gunanya buat tersinggung, toh aku beneran tinggal di rumah warna kuning. Kuning banget, sampai semua-semuanya kuning." Maya tertawa.

"Terus kapan kamu mau renovasi rumah ini?"

"Lah, ibu mau rumah ini direnovasi?"

"Asal jangan ganti warna." Ibu menyanggah dengan cepat.


TAMAT 

Gorontalo, April 2023

Komentar