Terbaru
Cerpen Misteri: Penculikan Kucing Hitam
Cerpen Misteri: Penculikan Kucing Hitam
[Cerpen Misteri]—Akhir-akhir ini aku mendengar rumor tentang maraknya penculikan kucing di beberapa kompleks perumahan.
Setiap kali mendengar adanya kucing hitam yang hilang, aku akan langsung pulang dan memeriksa keberadaan kucing-kucing. Terutama Berlin, kucing hitamku yang bulunya indah dan mengkilap walau berwarna hitam pekat.
Malam ini berkabut karena persawahan di belakang kompleks baru saja panen, dan banyak yang membakar sekam padi. Kabut tebal, menyelimuti beberapa titik, termasuk rumahku.
Aku baru saja pulang dari pos kamling saat mampir membeli telur di warung ujung komplek. Aku pulang karena topik pembicaraan bapak-bapak dan ibu-ibu sedikit banyak membahas kucing-kucing yang hilang.
Rumor-rumor mengerikan beredar tentang penculikan kucing. Bukan sembarang kucing, tetapi kucing hitam dan setahuku warna hitam itu dianggap sebagai lambang kesialan dan keberuntungan yang terbalik. Ini membuatku agak takut, bagaimana kalau ada orang gila yang menganggap kucingku; Berlin sebagai sebuah kesialan?
Aku menutup pintu rumah dan duduk di depan tv sambil memeriksa ponsel. Aku mencari berita lokal tentang penculikan kucing hitam yang ramai dibicarakan.
Dengan perasaan cemas, aku mulai membaca dan mencari petunjuk dari artikel-artikel berita lokal. Membandingkan hasil obrolan dengan beberapa tetangga dan teman-temannya yang juga memiliki kucing hitam yang hilang. Mereka semua merasa khawatir dan takut, sehingga aku semakin gelisah.
Pintu rumah diketuk kasar, aku menatap sejenak sebab tak ada suara salam dari luar. Aku abaikan saja, bisa jadi hanya anak-anak nakal yang pulang sholat isya dan iseng-iseng seperti biasa.
Kembali, pintu rumahku digedor. Kali ini beberapa kali.
"Siapa?" tanyaku agak berteriak. Tak ada jawaban, aku segera berdiri ke jendela dan melihat kucingku; Wingki yang baru saja pulang berkelana. Kucing putih mulus yang memang sudah jadi preman kampung.
Aku membuka pintu dan mengangkat tubuhnya. Seketika, aku menyadari bagian bawah tubuh Wingki basah.
Aroma anyir dan dan menyengat mendadak menguar. Aku letakkan Wingki di kursi, dia langsung berbaring dengan perut penuh darah. Aku kaget saat menyadari tangan ini sudah dilumuri darah Wingki. Aku hanya bisa menjerit, sambil meminta bantuan tetangga dengan berteriak.
Tidak butuh waktu lama, Bu Irna dari samping rumah dan Bu Yanti dari depan datang.
"Loh, kamu sendirian aja di rumah? Suamimu mana?" tanya Bu Irna panik.
"Katanya lembur, Bu." Aku mencoba tetap tenang.
"Ya ampun, ini perutnya kenapa?" Bu Yanti memeriksa perut Wingki.
"Nggak tahu, Wingki pulang-pulang udah begitu." Aku masih kaget dan bingung harus bagaimana.
"Bawa ke klinik aja, yuk. Naik motor saya. Mana kandangnya?" tawar Bu Yanti.
"Ini, anu!" Aku tidak tahu harus bagaimana.
"Cuci dulu darah di tanganmu itu!" seru Bu Irna.
Cerpen lainnya: Jojo dan Lia
Mungkin Anda sukai: Kim Ji Young: Born 1982
Usai membersihkan darah Wingki, aku memeriksa kamar kucing yang tersendiri di ruang belakang. Berlin dan tiga kucingku masih terlelap usai diberi makan tadi.
Aku mengunci rapat kamar mereka dan pergi ke klinik bersama Bu Yanti.
***
[Cerpen Misteri]—Syukurlah, kata dokter luka Wingki tidak dalam. Ada sayatan kecil yang dilakukan dengan ragu-ragu.
Sementara cairan kemerahan itu memang darah, tapi bukan semua darah Wingki. Darah yang ada di tubuh Wingki lebih mirip noda yang muncul saat berbaring di tempat kotor.
Lebih jelasnya, Wingki berbaring di tempat yang sudah berlumuran darah dan dalam kondisi terluka.
Aku dan Bu Yanti pulang, tepat sekali begitu sampai di rumah. Suamiku sudah menunggu bersama Bu Irna. Wajah mereka panik.
"Wingki gimana?" Suamiku segera menghampiri.
"Nggak apa-apa kok, nggak parah. Kok pintu kebuka? Aku bawa kuncinya loh ini."
"Berlin hilang, rumah kita dibobol," ucap suamiku begitu saja.
"Hah?" Aku meletakkan kandang berisi Wingki ke lantai. Dengan cepat menuju kamar kucing, tiga kucing lainnya bersembunyi di sekitar liter box.
"Mas! Berlin hilang ya?" Aku berteriak. "Hah, gimana ini? Dia lagi flu!"
"Kayaknya, penculikan kucing sudah sampai kompleks kita," ucap Bu Yanti.
"Bu Yanti, lapor polisi, Bu!"
"Terus bilang kucing hilang? Mana mau mereka menangani kasus begini?" sela Bu Irna.
Aku mendadak lemas, segala ketakutanku benar-benar terjadi. Bahkan mereka rela membobol rumahku demi menculik Berlin.
***
Dua hari sudah berlalu, aku tidak nafsu makan. Bukan apa-apa, Berlin adalah kucing tertua di rumah ini. Dia jantan yang pulang setelah dua tahun lebih hidup di luar rumah. Usianya hampir 9 tahun, akhir-akhir ini Berlin sering sakit. Tapi, dia akan cepat sembuh.
Suamiku hanya bisa membujuk agar aku mengikhlaskan Berlin. Tapi, aku lebih suka melihat Berlin mati di tanganku, daripada hilang diculik, lalu disiksa. Aku tidak bisa membayangkan apa yang sedang terjadi pada kucing kesayanganku itu.
***
Malam ini, aku duduk di kamar sambil memangku Wingki yang sudah bisa bergerak keluar kandang, dengan perban di perutnya. Aku sibuk melihat foto dan video Berlin, sampai pada akhirnya aku terhenti karena mendengar suara-suara aneh di luar jendela.
Aku turun dari sofa dan perlahan-lahan membuka tirai. Ada bayangan yang tidak jelas bergerak di samping rumah. Semakin diperhatikan bayangan itu mirip seseorang yang sedang membawa sesuatu mirip kucing.
"Berlin?" Aku meletakkan Wingki yang sudah pulas ke sofa dan bergerak ke luar.
Dengan hati berdebar, aku mengikuti bayangan itu dan terus berjalan. Sampai akhirnya tiba di hutan kecil belakang perumahan dekat sawah. Bayangan itu semakin masuk ke dalam hutan yang gelap.
Aku menyalakan senter ponsel dan terus mengikuti. Saat mencapai sebuah pohon besar, bayangan itu tiba-tiba menghilang. Bulu kudu ini meremang manja. Aku takut dan mendadak bingung.
Aku segera mengalihkan langkah untuk mundur dan menjauhi hutan, tapi kakiku terhenti saat tidak sengaja mendengar bisikan-bisikan halus. Suara-suara itu seperti suara gerombolan kucing yang mengeong.
Aku memberanikan diri mencari asal suara dan tiba di sebuah tempat yang beraroma busuk. Dengan cahaya senter hape yang tidak seberapa, terlihat beberapa kucing hitam yang tampak lemah dan terkekang di bawah akar-akar pohon yang mencuat, seolah digali agar akar-akarnya terlihat.
Aku segera mengirimkan pesan pada suami agar lekas menyusul ke tempat ini. Aku segera mendekat untuk memastikan apa mereka masih hidup?
Benar saja. Beberapa masih bernapas, ada yang masih mengeong kelaparan dan kelelahan. Tanpa berpikir panjang, aku segera melepaskan kucing-kucing hitam itu agar keluar dari perangkap akar pohon.
"Berlin?" panggilku sambil memeriksa kucing-kucing itu satu per satu.
Aku segera menelepon Bu Yanti dan Bu Irna, meminta mereka membawakan bantuan. Beberapa saat kemudian, warga desa datang dan melihat apa yang sedang terjadi di hutan belakang perumahan.
Mereka akhirnya meyakini bahwa ini sebuah praktik ilmu hitam yang dilakukan seseorang. Total 31 ekor kucing yang diikatkan di akar pohon dan potongan kepalanya digantung di dahan-dahan. Selain kucing, beberapa ayam cemani yang mengering, kendi-kendi tanah liat dan bongkahan batu tawas tersebar di sekitar pohon.
Hanya ada tujuh ekor kucing hitam yang selamat. Sayangnya, tidak ada Berlin di pohon itu. Berlin punya tanda di telinganya sehingga mudah untuk bisa kukenali, telinganya pernah sobek digigit anjing ketika Berlin masih kecil.
Kucing-kucing yang mati, akan dikuburkan keesokan paginya.
***
Pagi ini aku berdiri di bawah pohon yang bagian akarnya mencuat keluar. Ada bekas galian di mana-mana. Aku memeriksa hal yang tidak sempat kuperhatikan semalam. Pohon ini berbentuk kucing. Padahal dia hanya pohon beringin biasa, kenapa badan pohonnya seperti badan kucing?
"Sudah tidak ada?" Suara asing mengangetkanmu.
"Apa?" Aku berbalik dan melihat wanita muda yang tidak pernah kulihat sebelumnya.
"Mereka sudah dibersihkan?" lanjutnya bicara tanpa melihatku.
"Kamu tahu kalau ada kucing yang disiksa di sini?"
"Setiap malam aku mendengarnya, teriakan mereka. Aku menolong beberapa, tapi tidak kukembalikan," ungkapnya dengan wajah seperti sedang menahan tawa.
"Apa kamu lihat kucing hitam punyaku?"
"Semua kucing di situ, berwarna hitam." Dia beralih menatapku. Tatapan tajamnya seolah menghujam dada.
"Berlin, namanya Berlin. Dia pintar banget. Lagi flu, telinganya ada bekas gigitan anjing." Aku menjelaskan agak menjauh pohon karena perasaan ini tidak enak.
Perempuan itu hanya menggeleng, lalu berjalan masuk ke dalam hutan.
Dengan gontai dan mencoba fokus, aku pulang ke rumah melewati warung Bu Jaya yang sedang ramai, sayup-sayup terdengar mereka sedang membahas kejadian semalam.
Bu Jaya melambaikan tangannya padaku. Aku mengangguk dan mampir ke warung Bu Jaya.
Mereka memberondongiku dengan berbagai pertanyaan, bahkan seseorang agak sinis dengan bilang aku yang menemukan tempat itu, bisa jadi aku yang meletakkan kucing-kucing hitam itu di sana.
Aku hanya cuek saja, karena ibu-ibu kompleks membelaku. Tapi, pada akhirnya pertanyaan tentang, kenapa aku ke tempat itu semalam? Dan siapa penculik kucingnya? Masih terus dilemparkan kepadaku. Mereka mulai menuduh ada pelaku ilmu hitam di kompleks ini dan aku setuju.
"Iya, iih jahat banget. Mainnya menyakiti makhluk lain. Harus dipenjara tuh! Iya kan, Sarah?" tanya wanita seusiaku dengan daster kebesaran beraroma bawang putih.
Aku mengangguk dan teringat wanita tadi. "Di balik hutan, ada jalan lain, nggak?" tanyaku pada mereka.
"Di hutan itu?" tanya Bu Jaya, aku mengangguk. "Nggak ada sih!" lanjutnya.
"Kalau rumah?"
"Ah, ada rumah tua. Rumahnya Nek Sarmila. Kamu nggak tahu ya?" sela ibu-ibu bercelana training.
"Apa dia punya cucu?" tanyaku ingin memastikan sesuatu.
"Ada, perempuan. Tapi, sudah lama kami nggak lihat," jawab wanita beraroma bawang putih. "Eh!" lanjutnya terdiam sejenak.
"Kenapa?"
"Bukannya dua tahun lalu, pernah ada kasus yang sama kayak gini, kan? Penculikan kucing hitam?" ucapnya melirik ibu-ibu, aku pun jadi ikut melirik.
"Oh iya," ucap Bu Jaya dan yang lainnya serempak.
"Saat itu, nenek itu di mana?" tanyaku.
"Waktu itu dia nggak ada, cuma ada cucunya aja sih. Dia sering keluar kota, datangnya cuma sebentar," jawab Bu Jaya sembari memberikan plastik berisi belanjaan pada orang di hadapannya.
Aku gemetar, sebuah situasi yang sama sedang terjadi dengan dua tahun lalu. Jika kuperhatikan jawaban ibu-ibu. Nek Sarmila ada di rumahnya sebelum kucing hilang, dan dia akan pergi saat cucunya datang bersamaan dengan hilangnya kucing hitam.
***
Aku segera pulang dan begitu sampai di rumah ternyata Berlin sedang tidur di keset kaki, tepat di depan ambang pintu tidak kurang satu apapun. Aku segera berlari dan berhamburan memeluknya. Berlin kaget, dia juga sudah sembuh dan ada kalung di lehernya.
"Kucingmu sudah kuobati, kucing tua membuatku tua. Tutup mulutmu, jika tidak mau jadi pengganti kucing."
Aku terdiam membaca surat singkat itu. Siapapun dia penculik kucing itu, dia tahu aku mengetahui siapa dia. Sebaiknya tutup mulut saja, demi kebaikanku sendiri.
TAMAT
Gorontalo, 15 September 2023
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar