Terbaru

Dua Cermin Horor dan Puisi Horor Kak Bi

1. Cermin Horor: Sosok Ber-Hoodie




Malam ini, hujan turun deras dan menampar jendela kamarku seolah jendela itu berbuat dosa. Aku berdiri di dekat jendela sembari melihat layar ponsel yang sejak tadi memunculkan nomor yang tak dikenal.

Kini sebuah pesan masuk: Aku di luar rumahmu.


Aku seketika mengernyit, jantung jadi semakin berdebar. Dengan rasa cemas yang sedang coba dikendalikan, aku abaikan pesan itu dan hendak berbalik menjauhi jendela.

Klik. Suara itu diikuti dengan listrik yang tiba-tiba mati. Mendadak seisi rumah jadi gelap gulita. Aku menenangkan diri dan meraba-raba ponsel untuk menyalakan senter. Begitu lampu senter menyala, pandanganku langsung tertuju ke jendela. 

Ada sosok ber-hoodie hitam berdiri di sana, tanpa wajah. Hanya siluet tipis yang muncul akibat lampu teras tetangga. Tak ada mata, hidung, atau mulut—hanya kehampaan di bawah tudung hitam.

Tubuhku sempat membeku. Dalam diam aku mencoba mundur, merasakan ketakutan ini kian mencekam merasuki tubuh. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu, aku semakin ketakutan.

Siapa manusia yang mengetuk rumah gelap dan dalam keadaan hujan begini?

"Mira!" Kembali suara ketukan diiringi namaku yang dipanggil kasar.

Mendadak listrik kembali hidup. Aku menoleh ke arah jendela dan sosok itu lenyap seolah tak pernah ada. Tapi bayangan hitam dari jejak basah tetap ada di lantai, menunjukkan kalau dia nyata, dan dia pernah berada di sini.

"Mira!" Sosok ber-hoodie kini muncul lagi, suaranya familiar, wajahnya jelas.

"Astaga, kamu, Win!" Aku bergegas membuka pintu rumah.

"Listrik rumah tadi mati saklarnya, udah aku hidupin. Lain kali kalau mati lampu begitu jangan budeg ya kalau dipanggil."

Aku mendadak lega mendengar omelannya, rupanya sosok ber-hoodie adalah Windi, teman satu kos. Ah, sedari tadi aku hanya berhalusinasi rupanya.

Dari layar ponsel, sebuah pesan baru membuatku terpaku. Pesan itu memaksaku untuk memperhatikan hoodie yang dipakai Windi.

Berbeda. Hoodie-nya berbeda.

Aku masih di sini kok, Ah, aku kurang beruntung. Lain kali, kau tidak akan seberuntung ini. Nona manis.

TAMAT 

Gorontalo, 1 Oktober 2024

***


Baca juga: Kimi no Nawa

2. Puisi: Kuburan Tua



Tak ada kabut, bunyi-bunyian membeku. Kaki-kaki berserabut, memunculkan pilu. Bebatuan retak, berlumur debu. Seperti berteriak setiap kisah yang tak pernah berlalu

Dingin menyusuri tanah basah, aroma kematian mengadu. Membawa setiap langkah di antara pusara tertuju.

Malam pekat, cahaya bulan pudar cemberut. Remang-remang belikat, tergantung di setiap sudut.

Mereka; arwah; jiwanya berdesir lirih. Membisikkan rahasia dari liang paling sunyi.  

Tanah hitam, lembab, nan pekat, dengan suara dari dunia bawah tersemat  
Jangan dengar, jangan lihat!

Di situ ada yang tak tenang. Roh pemburu nyawa terperangkap dalam duka yang panjang. Entah menyesal atau amarahnya didulang....

Kuburan tua, berlabel hitam pekat, menjadi tempat arwah bersembunyi tanpa jeda, tanpa pasrah. Mungkin ada sesal yang mengerang.

Gorontalo, 2 Oktober 2024


***



3. Cermin Horor : Tumpangan



Aku dan Rani masih berdiri di pinggir jalan, berharap ada tumpangan lewat. Kami baru saja pulang dari acara kumpul-kumpul, karena terlalu asyik jadinya lupa waktu. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas lewat malam, dan tak ada tanda-tanda kendaraan melintas.

Bodohnya lagi, aku dan Rani tidak punya kuota internet untuk memesan taksi online.

“Gimana nih, Din?” keluh Rani sambil memeluk dirinya sendiri, berusaha menghalau dingin.

“Tunggu aja sebentar lagi. Kalau ada mobil lewat, pokoknya kita coba setop aja,” jawabku santai.

Tak lama, dari kejauhan terlihat lampu depan mobil mendekat. Muncul mobil yang kelihatan modern melaju di jalanan sepi. Aku dan Rani saling bertukar pandang.

“Stop aja, Din! Siapa tahu mau nganterin kita.”

Mendengar perintah Rani, aku segera mengangkat tangan, dan mobil yang punya banyak baret itu berhenti agak jauh melewati kami. Perlahan mobil mundur, hingga bagian pintu penumpang tiba di hadapan kami. Kaca jendela belakang tidak ada. 

Saat aku melihat ke dalam, tidak ada seorang pun di kursi pengemudi, hanya hawa aneh dan kain putih yang tampak sedang duduk tegak di balik kemudi. Tepat di sebelahnya juga ada kain putih yang sama.

Aku tersentak, langsung menahan juga mencegat badan dan tangan Rani yang sudah terlanjur membuka pintu mobil. Polos sekali kawanku ini. “Rani, sopirnya kok dibungkus kain putih?!”

“Apa? Hah!!!” Rani mundur beberapa langkah, matanya membelalak. Sembari sesekali menengok ke arah bangku pengemudi.

Kami langsung terpaku, ternganga, tidak percaya dengan apa yang kami lihat. Mobil itu sepertinya tadi melaju sendiri, atau lebih tepatnya dikemudikan oleh kain putih yang melambai-lambai di balik kemudi.

Tiba-tiba, suara klakson berbunyi cepat. Terdengar buru-buru, disusul suara mengerikan yang menggeram.

“Naik ... nggak, Din?” tanya Rani dengan suara gemetar tapi sedikit tak sabar.

“Gila? Udah jelas ini mobil setan!” jawabku panik.

Beberapa detik kemudian, terdengar sirine keras dari belakang. Dua mobil polisi melesat dengan lampu berkedip, salah satunya menghadang di depan dan lainnya berhenti di belakang mobil yang kami mintai tumpangan ini.

Aku dan Rani saling berpelukan. Polisi di dalam mobil berteriak sambil melambai, “Awas, minggir, Mbak. Itu penjahat yang lagi nyamar jadi setan!”

Akan tetapi, aku dan Rani malah terdiam. Kenapa penjahat itu tidak melajukan mobilnya dan malah berhenti melihat kami berdua?

Polisi segera menggerebek mereka, benar saja, isinya dua pria kurus kering yang ada di balik kain putih yang dibolongi bagian matanya.

Lebih aneh lagi, mereka tidak bisa kabur dengan mobil karena Rani terlanjur membuka pintu mobilnya. Mobil itu jadi rusak karena kejar-kejaran dengan polisi tadi, dan kerusakan sensornya membuat mobil dengan pintu terbuka tidak bisa jalan.

Begitu polisi pergi membawa penjahat itu, aku dan Rani terdiam. Kita ditinggal di jalanan nih? Dduh?

“Syukurlah itu bukan setan ... tapi penjahat yang pinter nyamar,” kata Rani tertawa kaku.

Aku mengangguk, “Ya, setidaknya, mereka lebih kreatif soal cari tumpangan, daripada kita! Ini kita pulangnya gimana dong?”

"Pak polisi!!!" teriak Rani berlari kecil.


TAMAT 

Gorontalo, 8 Oktober 2024

***

Sekian Dua Cermin Horor dan Puisi Horor Kak Bi ya~~Semoga suka, terima kasih sudah mampir.

Komentar

Populer

Review Squid Game All Season | Season Tiga Gagal Mengalahkan Season Pertama

Review Film #ALIVE: Bertahan Hidup dari Zombie di Korea