Cerpen Keluarga: Senja, di Usia Senja
Oleh: Nurwahidah Bi
***
Dengan latar kisah yang mengangkat tema keluarga, kasih sayang, dan pengorbanan, Kak Bi coba menyajikan makan kehidupan di usia senja lewat cerpen keluarga ini.
Kisah ini cocok bagi pembaca yang suka cerita keluarga, drama, penuh emosi, dan ada refleksi mendalam tentang kehidupan masa tua nanti.
Selamat membaca cerpen keluarga: Senja, di Usia Senja.
***
Aku mengawali hari sebagai anak pertama dari empat bersaudara. Ayah dan ibu adalah pedagang di pasar. Keduanya sibuk bekerja, sehingga tanggung jawab mengurus rumah adalah tugasku sebagai anak tertua.
Letih, kujalani setiap hari. Tekadku untuk menggapai sekolah tertinggi harus terwujud, dengan begitu kami sekeluarga bisa menikmati kehidupan yang lebih baik.
Setelah berhasil kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri, aku sempat berselisih tegang dengan adik perempuanku yang bernama Maya.
Maya sering merasa iri padaku yang selalu diizinkan pulang saat senja. Sementara dirinya harus sampai di rumah sebelum jam tiga sore. Bukan hanya itu, perihal aku yang sering mendapatkan uang lebih juga jadi perkara. Ditambah soal pembagian tugas harian dari ibu, yang memang memberatkan Maya sebagai anak kedua.
Saat itu, Maya mungkin tidak tahu betapa lelahnya aku harus bolak-balik rumah dan kampus yang jaraknya tidak dekat. Karena perselisihan kami, aku memilih indekos saja dan menjauh darinya.
***
Cerpen Keluarga: Senja, di Usia Senja—Beberapa bulan setelah kelulusanku menjadi sarjana pendidikan, aku mulai mengajar di sebuah SMA swasta. Maya, yang lulusan SMA bekerja di pabrik gula. Tak lama setelah bekerja, jodoh menjemputnya. Teman kuliahku memilih Maya menjadi jodohnya, lewat sholat malam.
Di malam pernikahannya, Maya meminta maaf karena sudah melangkahiku. Aku tidak peduli dengan mitos langkahan, yang penting melihat Maya bahagia aku sudah turut bahagia.
Maya juga meminta maaf atas tingkah egoisnya selama ini, dirinya bercerita tentang letihnya pulang kerja di sore hari dan tidak bisa membayangkan betapa capeknya aku sebelum indekos. Semuanya berbeda saat dia masih SMA, di mana dia bisa pulang cepat dan menikmati waktu istirahat sambil cuci piring dan menanak nasi, menunggu aku pulang kuliah.
Aku pun fokus bekerja, Maya sudah menikah. Lima tahun kemudian, si bungsu meninggal. Dua tahun berselang adik keduaku, menikah.
Baca juga: Cerpen Keluarga: Tentang Winda
Artikel lainnya: Cerpen Drama: Kuda, Kakek dan Kenangan
Pada akhirnya kami menjadi perantauan, aku mencari sekolah dengan gaji yang lebih baik. Maya ikut suaminya, sementara adik lelakiku membuka bisnis rumah makan bersama istrinya yang merupakan anak orang kaya.
Adik lelakiku selalu rutin membiayai kehidupan orang tua kami, dia juga selalu merengek tentang tujuannya bekerja adalah demi membahagiakan ibu dan ayah, sehingga selalu meminta ibu dan ayah untuk berhenti bekerja lagi.
Ya, kami bertiga pada akhirnya bekerja dan berproses demi orang tua. Tanpa tahu apa yang orang tua kami inginkan.
Tak berselang berapa lama, aku yang masih honorer harus menerima pil pahit atas kematian Maya dan suaminya. Kedua anaknya menjadi tanggung jawab ayahku, karena kasihan kedua orang tua sudah tua. Aku pun memboyong kedua keponakan untuk tinggal bersama, meninggalkan dua orang tua itu menyambut masa-masa tua mereka.
Perlahan, entah rezeki datang dari mana. Aku berhasil merenovasi rumah tua, untuk masa tua ayah dan ibu. Kusekolahkan kedua keponakanku, sampai aku lupa mencari teman hidup.
***
Ibuku meninggal hanya setahun setelah aku menikah, tepat lima tahun setelah kepergian ayah.
Pernikahan di usia senja ini tak berjalan mulus, kupikir aku menemukan sosok yang bisa kuajak mengobrol tentang senja seperti Maya dan suaminya yang memang merupakan temanku.
Suamiku egois, selalu ingin menang sendiri. Pada akhirnya dia membuatku berhenti mengajar dan membuatku bekerja bersamanya, semua itu untuk membantunya membayar hutang anak-anak tiriku. Tapi, dia sosok yang baik. Dia tidak pernah marah padaku, dia selalu mencoba menenangkan aku kalau sedang marah. Hanya saja, tak ada manusia yang sempurna.
***
Cerpen Keluarga: Senja di Usia Senja—Sementara itu, kini dua keponakanku yang sudah tumbuh dewasa, mencoba bertahan dari pahitnya hidup. Bahwa aku tidak ada di samping mereka, sebab status telah berubah.
Aku merindukan masa-masa hanya ada aku dan kedua anakku itu. Keduanya tinggal di rumah orang tuaku, sebab rumah angsuran Maya dan suaminya sudah orang tuaku jual, untuk tabungan kedua cucunya.
Suamiku, enggan tinggal di rumah orang tuaku, karena anak-anaknya sendiri lebih penting, meski kini kami hidup menumpang. Pada akhirnya dia pergi merantau, padahal usianya tak lagi muda. Semua demi memenuhi kebutuhan anak-anaknya sendiri.
Senja di usia senjaku, hanya dihabiskan sendirian di teras rumah nan asing, menimbun rindu untuk kedua anakku. Sambil menunggu adzan Maghrib, melihat lampu-lampu kendaraan yang berlalu-lalang di depan rumah. Berharap ada yang mampir untuk membeli sesuatu dari warung kelontong kecil yang kujaga.
Ingin rasanya kembali pada senja yang dahulu, tapi apalah daya senjaku sudah berubah. Doaku adalah bisa melihat kedua anakku itu menikah, semoga keduanya sehat selalu. Mereka adalah anak-anak yang meski tidak lahir dari rahimku, tapi jauh lebih dekat dan tertanam dalam hati rasa cinta dan rindu untuk keduanya yang jauh di sana.
TAMAT
Gorontalo, 20 Oktober 2022
Komentar
Posting Komentar