Tekanan itu tak mudah terlupa.
Saya belum bisa menyebut diri ini seorang penulis, karena jika penilaiannya adalah pendidikan maka saya bukanlah professional sebab tidak punya latar belakang pendidikan yang tinggi.
Tapi menjadi penulis tidaklah mudah, harus menggunakan EYD yg baik dan benar serta menguasai banyak makna dan perbendaharaan kata.
Banyak yang menganggap remeh saya, yang tak mungkin jadi penulis karena latar pendidikan.
Tapi jika statusnya untuk sebuah kepandaian, sekadar share saja nilai bahasa Indonesia saya tidak jelek jelek amat kok!
Ketika almarhum papa masih hidup beliau mencekoki saya dengan cerpen dan kisah-kisah serta dongeng sebelum tidur, yang membuat imajinasi saya menjadi liar.
Saya punya arsip puisi papa, yang membulatkan tekad walau tanpa sekolah tinggi kemampuan aksara ini adalah sebuah bakat.
Bakat yang beliau turunkan pada saya, dan orang-orang tak tahu semua hal itu.
Mereka hanya menganggap saya ikut-ikutan atau dasar orang nganggur, mungkin itu pikir mereka.
Tapi satu hal yang membuat saya terus ingin maju, Tekanan!
Ya tekanan, ketika orang menekan saya dengan hinaan hingga kritikan.
Maka saya akan melangkah satu langkan melewati mereka yang hanya bisa cuap-cuap.
Semakin mereka mengkritik puisi dan cerpen saya banyak typo, semakin semangat saya membuat puisi dan cerpen baru yang lebih baik dari sebelumnya.
Seperti novel Wanita yang terbit tanpa editing lagi karena memang cuma coba-coba, yang hingga hari ini bisa disebut tak laku.
Beda halnya dengan novel Where are You? Yang saya rasa sudah 80% rapih, tapi karena title self publishing-nya membuat pembaca tak percaya dengan buku ini.
Gagal? Tidak! Saya akan terus membuat novel dan buku.
Sedikit info saja, pembuatan novel Wanita memakan waktu kurang lebih setahun. Awalnya naskah ini akan Saya terbitkan di nulisbuku. com, tapi tiba tiba ketemu lomba dan mengikutkan si naskah Wanita itu, menyelesaikannya hanya dalam satu bulan dan jadilah bukunya diterbitkan oleh Bitread.
Jadi buat Anda yang berkata saya tak punya masa depan sebagai penulis, silahkan ulangi kata-kata itu hingga saya bisa merasakan efek itu.
Efek semangat ingin membuktikan, bahwa tertindas bukanlah kelemahan melainkan kelebihan yang sedang kita tabung untuk suatu saat nanti .
Saat di mana Anda akan berkata,
"Selamat ya, bukumu sudah terbit! Maaf sudah menghinamu!" Meskipun kata itu hanya ada dalam hati.
Menulis bukanlah hal ikutan-ikutan bagi saya, saya menulis sejak SD. Bahkan ayah sayalah jurinya, tapi saat beliau meninggal saya kehilangan semangat menulis dan hanya bisa menuangkannya dalam bentuk puisi.
Mau tahu puisi saya, silahkan tanya guru SD, SMP, SMA saya, mereka tahu kok puisi saya, setidaknya kalau masih ingat saya. Meskipun tidak "Wah" tapi setidaknya saya aktif berkarya.
Bukannya ngajak berantem ya, tapi saya ngajak berpikir.
Apa bisa Tekanan vs Semangat itu semakin dikembangkan atau justru ditiadakan?
Komentar
Posting Komentar